‘Lonto Leok’ Dialog Tiga Pilar Menuju Kelestarian Hutan Di Matim, NTT

oleh -506 kali dilihat
'Lonto Leok' Dialog Tiga Pilar Menuju Kelesatrian Hutan Di Matim, NTT
'Lonto Leok' Dialog Tiga Pilar Menuju Kelesatrian Hutan Di Matim, NTT - Foto/Yos Syukur

Klikhijau.com – Dialog Tiga Pilar yang melibatkan pihak adat, pihak agama dan pihak memerintah, dikemas dalam nuansa budaya Manggarai yaitu Lonto Leok untuk membangun komitmen bersama untuk melestarikan hutan demi anak cucu. Kegiatan tersebut berlangsung di Desa Satar Nawang, Kecamatan Congkar, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Selasa, (22/2/2022).

Dalam bahasa Manggarai , Lonto leok berasal dari dua kata, yakni lonto dan leok. Lonto artinya duduk dan leok artinya kepung, mengepung, keroyok, keliling, mengelilingi, melingkar. Dengan demikian, istilah lonto leok berarti duduk mengelilingi atau duduk melingkar.

Lonto leok adalah jati diri orang Manggarai dalam menyelesaikan persoalan dengan musyawarah mufakat. Pihak yang bersengketa akan dipanggil di rumah adat (mbaru gendang) yang difasilitasi oleh tua adat untuk memusyawarahkan penyelesaian masalah sehingga keputusan yang diambil dapat memuaskan semua pihak.

Menarik, semua peserta dalam dialog Tiga Pilar ini mengenakan busana adat khas Manggarai. Sebelum kegiatan berlangsung, tokoh adat setempat menerima rombongan pemerintah, pihak agama dan pihak adat, serta Kapolres dan Danramil Matim secara adat yaitu tuak curu dan manuk kapu.

KLIK INI:  Harimau Sumatera Serang Seorang Pekerja di Riau Hingga Tewas

Diskusi Tiga Pilar ini juga bertujuan untuk menjaga relasi antara pihak adat, pihak dan pihak pemerintah, agar tidak terjadi perbedaan pendapat, pandangan, perilaku dalam menjaga hutan. Kerjasama antar pihak sangat penting untuk kelestarian hutan di Manggarai.

Ungkapan dan ajakan tersebut tertuang alam bahasa Manggarai yang memiliki makna maju bersama, kerjasama dan sama kerja. Nai ca anggit, (satu nafas, satu ikatan), tuka ca leleng, (satu perut, satu kepentingan berasama), tiu ca ambo (satu rumpun tebu), neka woleng wintuk (jangan berbeda perilaku), muku ca puun, (pisang satu rumpun), neka woleng curup ( jangan berbeda pendapat).

Maksud dari ungkapan di atas adlah tiga pilar dan atau semu pihak (pihak adat, pihak agama dan pemerintah) harus menyamakan persepsi, pikiran, pandangan, pendapat dan pergerakan yang sama untuk menjaga kelestarian hutan demi anak cucu.

Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur bersama masyarakat gelar dialog “Tiga Pilar”, bahas tentang masalah hutan dan kelestarian alam di wilayah tersebut.

Dialog dengan konsep budaya itu dihadiri oleh Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Wiratno. Selain itu, sedikitnya ada 30 tua adat.

Bupati Manggarai Timur Andreas Agas, yang diwakili oleh Sekertaris Daerah Bonifasius Hasudungan, dalam sambuatannya menjelaskan tentang manfaat hutan. Hutan yang berada dalam TWA Ruteng sangat bermanfaat untuk Kabupaten Manggarai Timur.

“Untuk menjaga kelesatrian hutan, semua pihak harus kerjasama dan bersinergi, “ ujarnya.

Menurutnya dialog Tiga Pilar sangat penting untuk kelestarian hutan dan keberlangsungan hidup manusia. Merupakan kegiatan yang berdampak penting untuk lingkungan hidup dan kelestarian di Manggarai Timur.

“Hutan itu merupakan warisan generasi yang harus dijaga. Oleh karena itu kesadaran tentang pentingnya menjaga hutan harus dilakukan sejak dini. Hutan dijaga masyarakat sejahtera. Mari kita menjaga hutan ini dengan baik”, pesannya.

Pada kesempatan itu, Dirjen KSDAE, Wiratno dari KLHK menyampaikan, pemimpin yang tulus adalah mereka yang menyelami semua persoalan masyarakat.

“Kalau masyarakatnya yang mengelola hutan dan sudah tergantung dengan hutan itu, itulah yang kita jaga. Berikan solusi tanpa soal”, ucapnya.

KLIK INI:  Daftar Lengkap Satwa yang Ditranslokasi dari BKSDA Sulsel ke BKSDA Maluku

Ia menginbau semua pihak yang mengelola hutan dengan menanam kopi, agar berkewajiban juga menjaga hutan untuk dirinya dan masyarakat.

“Saya tidak mau masyarakat jadi korban. Saya meminta konsep ini agar bisa mengedepankan adat dan budaya. Untuk melihat masyarakat sebagai sasaran pembangunan”, ungkapnya.

Wiratno melihat masyarakat yang mengelola hutan tersebut dengan menanam kopi sebagai kemitraan konservasi.

“Itulah yang kita jaga, perlu membangun dialog demi mencapai keputusan bersama. Harus membangun keharmonisan di tengah masyarakat. Tanpa harus ada konflik antara masyarakat.Tugas pemerintah adalah melindungi masyarakat,” tegasnya.

Ia berpesan masyarakat yang butuh lahan dan tanam kopi di dalam hutan tersebut, tidak boleh diusir oleh siapapun.

Terpisah, koordinator stering comite Gonis Badjang berjanji, bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan mengeluarkan rekomendasi dan kesepakatan dari kegiatan dialog Tiga Pilar tersebut.

“Rekomendasi dan kesepakatan dalam kegiatan Lonto Leok ini dalam waktu dekat akan diterbitkan. Hasilnya akan disosialisasikan kepada masyarakat”, tutup Gonis.

KLIK INI:  Kembangkan Wisata Alam Ramah Lingkungan, KLHK Luncurkan Standar Penilaian