Konflik Manusia dengan Satwa Liar Kian Meningkat di Tangan Krisis Iklim

oleh -138 kali dilihat
satwa liar monyet dare
Monyet dare - Foto/BBKSDA Sulsel

Klikhijau.com – Konflik antara manusia dan satwa liar semakin nyaring terdengar. Pemicunya diduga kuat karena krisis iklim.

Krisis iklim sendiri, pemicunya—dominan adalah manusia. Meski pemicunya adalah manusia, dampaknya tidak hanya pada manusia saja, tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di dunia ini.

Salah satu yang merasakan dampaknya, selain manusia adalah satwa liar. Karenanya tidak mengherankan jika banyak satwa liar—kini semakin dekat dengan manusia—dan mulai berkonflik.

Terjadinya krisis iklim akan membuat sumber kehidupan, baik berupa makanan, air, hingga habitat yang sehat semakin langka. Membuat satwa liar semakin terdesak

KLIK INI:  Tragis, Burung Puffin Alami Kematian Massal karena Perubahan Iklim

Habitat satwa liar yang selama ini jadi rumah ternyaman, semakin banyak diusik oleh manusia. Baik itu karena alasan mata pencaharian maupun sebagai tempat tingal.

Saat ini semakin banyak manusia berpindah  ke wilayah baru yang sebelumnya tak pernah dihuni, demi mencari sumber kehidupan—yang artinya akan mengusik keberadaan satwa liar.

Hal tersebut menurut sebuah makalah ulasan yang dipimpin oleh University of Washington akan  mengubah cara satwa liar berperilaku. Ini berarti meningkatnya konflik manusia-satwa liar, serta kerusakan properti pribadi dan hilangnya mata pencaharian masyarakat.

Makalah ulasan tersebut diterbitkan oleh Nature Climate Change. Para peneliti mengamati 49 kasus konflik manusia-satwa liar di setiap benua, kecuali di benua Antartika, dan di kelima samudra.

Dari 2,5 mg nyamuk hingga 6.000 kg gajah Afrika, konflik melibatkan semua kelompok satwa liar utama, yakni burung, ikan, mamalia, reptil, dan invertebrata.

KLIK INI:  Tentang PCBs dan Upaya Indonesia dalam Mengatasinya
Penyebab penurunan populasi

Konflik manusia dan satwa liar sudah menjadi penyebab utama penurunan dan kepunahan di antara mamalia besar, yang dapat memicu perubahan ekosistem, menurut makalah tersebut.

“Krisis iklim meningkatkan konflik antara manusia dan satwa liar yang berujung pada cedera atau kematian di antara kedua pihak. ”

Perubahan suhu dan curah hujan adalah pemicu konflik yang paling umum, dikutip dari lebih dari 80% studi kasus.

Hasil yang paling umum adalah cedera atau kematian yang menimpa  manusia, sebanyak 43% studi dan satwa liar sebanyak 45% studi.

Konflik didefinisikan sebagai interaksi langsung antara manusia dan satwa liar yang memiliki akibat negatif bagi salah satu atau keduanya.

KLIK INI:  Keindahan Warna Burung adalah Berkah sekaligus Petaka

Briana Abrahms, ahli biologi satwa liar dari University of Washington mengatakan, pihaknya terkejut bahwa hal itu sangat lazim secara global,

“Ini adalah salah satu kesimpulan besar dari makalah ini. Belum ada pengakuan yang seharusnya bahwa perubahan iklim memperburuk konflik ini,” kata penelitu utama tersebut dinukil dari Guardian.

Abrahms juga mengatakan bahwa kita mungkin melihat konflik baru di tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi di masa lalu, serta konflik yang semakin intensif di tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi di masa lalu.

“Mengakui hubungan antara perubahan iklim dan konflik manusia dengan satwa liar sangat penting untuk mengantisipasi, dan pada akhirnya mengatasi, interaksi manusia-satwa liar yang baru dan intensif di abad ke-21 dan seterusnya,” para peneliti menyimpulkan.

“Tinjauan sistematis kami mengungkapkan luasnya sistem yang luar biasa di mana konflik yang didorong oleh iklim terjadi di seluruh dunia,” kata para peneliti. Mereka tidak melihat penyebaran penularan penyakit tetapi ini adalah “konsekuensi perubahan iklim yang terdokumentasi dengan baik,” tambahnya.

KLIK INI:  7 Ancaman Nyata Perubahan Iklim Terhadap Flora dan Fauna

Para peneliti juga menyoroti perlu adanya antisipasi di mana konflik kemungkinan besar akan terjadi di masa depan. Harus dicari caranya  untuk meminimalkannya, semisal membuat sistem peringatan dini tentang perpindahan satwa liar ke daerah rawan kekeringan atau kebakaran besar.

Kasus konflik manusia dengan satwa liar

Berikut beberapa kasus konflik   konflik manusia dengan satwa satwa liar menurut peneliti karena krisis iklim:

  • Kekeringan akibat El Niño di Sumatra menyebabkan kebakaran hutan. Kebakaran itu mendorong harimau dan gajah ke daerah baru. Akibatnya satu jiwa  karena konflik antara satwa liar dan manusia.
  • Ketika manusia sedang tidur untuk istirahat. Sangat mungkin banyak serangan terhadap ternah dan tanaman. Itu karena hewan sangat mungkin lebih aktif di malam hari demi menghindari suhu yang lebih panas di siang hari. Jika ini terjadi, maka manusia akan memburu satwa liar tersebut untuk “balas dendam”.
  • Jumlah es laut di Kutub Utara semakin tergerus di tangan perubahan iklim. Hal itu menyebabkan beruang kutub akan semakin terpaksa berburu di darat.
  • Buktinya, antara tahun 1970 dan 2005 jumlah interaksi manusia dengan beruang kutub meningkat tiga kali lipat di kota Churchill, Kanada, Manitoba, kota yang dikenal sebagai “ibukota beruang kutub dunia.”
  • Karena gelombang panas, paus biru mengubah waktu migrasi mereka. Akibatnya tabrakan mereka dengan kapal semakin sering terjadi.
  • Gajah di Tanzania harus keluar “kandang” mencari makan dan air di dekat desa karena kekeringan yang melanda. Keluarnya gajah-gajah itu dari “kandangnya” menyebabkan banyak tanaman yang rusak dan dan gajah terbunuh di tangan manusia.
  • Suhu yang menghangat di Skotlandia mendorong peningkatan jumlah angsa teritip, yang memakan rumput yang diinginkan petani untuk domba mereka.
  • Di Indonesia menurut situs brin.go.id, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, konflik antara manusia dengan satwa liar terus terjadi. Konflik tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi  yang ada di Sumatera.
KLIK INI:  Ekonomi Inggris Bisa “Terjun Bebas” karena Perubahan Iklim

Berbagai sumber