Konflik Agraria dan Banjir Konawe Utara

oleh -457 kali dilihat
Konflik Agraria dan Banjir Konawe Utara
Ilustrasi konflik agraria dan banjir

Klikhijau.com – Persoalan konflik agraria di Negara ini seakan tidak pernah ada habisnya. Dari tahun ke tahun selalu memunculkan kasus sengketa lahan.

Jumlah daftar konflik tersebut meliputi persoalan pembangunan infrastruktur, investasi sektor property, pertanian dan sektor pertambangan.

Bertambahnya persoalan agraria menunjukan ada sebuah permasalahan terkait regulasi ataupun izin. Persoalan ini menunjukan tidak mampunya pemerintah mengatasi permasalahan agrarian.

Hal ini sejalan dengan temuan Konsersium Pembaruan Agraria (KPA) bahwa ada peningkatan konflik setiap tahun.

Tercatat pada 2017 terdapat 659 kejadian konflik agraria dengan luas 520.491,87 hektare dan melibatkan sebanyak 652.738 kepala keluarga.

KLIK INI:  Identitas Hijau Kaum Muda Nadhliyyin

Sedangkan pada 2018 ada 1.769 konflik dengan luas 807.177,613 hektare lahan konflik dan melibatkan 87.568 kepala keluarga, (KPA, CNBC Indonesia, 18 Februari 2019).

Eksploitasi sumber daya alam

Pertambangan dan perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang paling mendominasi di Sulawesi Tenggara.

Ada 50 izin pakai kawasan hutan untuk pertambangan pada 2018 dengan luas 43.638 hektare. Ada 81 izin usaha pertambangan terdapat di Kabupaten Konawe Utara.

Salah satu pendorong minat investasi di bumi anoa tersebut ialah melimpahnya kekayaan sumber daya alam dan suburnya kawasan perhutanan.

Maraknya penebangan hutan untuk dikonversi sebagai lahan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Secara tidak langsung kawasan hijau yang merupakan daerah resapan air ikut berkurang.

Hal ini membawa dampak buruk bagi ekosistem yang ada di dalamnya dan juga masyarakat luas. Seperti halnya banjir yang terjadi di Konawe Utara beberapa waktu lalu.

Bencana tersebut merupakan banjir terbesar setelah banjir 1997 silam. Dari bencana tersebut sejumlah masyarakat yang berada di kawasan tersebut harus mengungsikan diri.

Kondisi ini terjadi karena air di sungai Lalindu mulai meluap dan merembes ke perumahan. Hal ini berawal dua hari menjelang perayaan Idul Fitri.

Derasnya aliran air sungai bercampur lumpur menambah volume air hingga mencapai 7 meter. Dari berbagai sumber informasi, ada 370 unit rumah masyarakat hilang akibat banjir tersebut.

KLIK INI:  TORA dan PS untuk Rakyat Sejahtera dan Hutan Lestari

Ada 9.609 jiwa mengungsi dan taksiran kerugian material diperkirakan mencapai 700 miliar rupiah. Bencana banjir ini terjadi di tujuh kecamatan dan empat puluh satu desa yang menjadi lokasi banjir.

Ini juga berdampak pada rusaknya fasilitas publik seperti rumah, masjid, jembatan, sekolah dan sebagainya di kawasan tersebut.

Polemik di balik banjir

Aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit menjadi pro dan kontra sebagai penyebab banjir tersebut.

Seperti halnya yang disampaikan oleh Ali Mazi selaku Gubernur Sulawesi Tenggara. Ia menyatakan bahwa aktivitas tersebut bukanlah penyebab utama terjadinya banjir di kabupaten tersebut. Ia juga berujar bahwa banjir tersebut merupakan ujian Allah.

Berbeda dengan sang Bupati bahwa banjir disebabkan karena buruknya sistem drainase, pendangkalan sungai dan perambahan hutan.

Jika memaknai terkait “perambahan hutan”, ini secara tersirat memang ada upaya perluasan lahan di sana yang secara tidak langsung sebagai sumber bencana.

Aktivitas perambahan hutan mungkin dilakukan untuk perluasan kawasan pertambangan atau kebun kelapa sawit.

Banyak yang berasumsi jikalau keberadaan tambang dan kelapa sawit merupakan penyebab banjir. Hal ini juga diperkuat pernyataan Saharuddin, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sultra.

Ia menuturkan bahwa posisi pertambangan berada pada ketinggian. Alhasil, sisa material mudah terbawa air menuju sungai.

KLIK INI:  Bagi Siti, Korporasi Memiliki Peranan dalam Penyelesaian Sengketa Agraria

Sehingga material tersebut menjadi pemicu banjir sebab terjadinya sedimental di dalam sungai. Akibatnya sungai mendangkal dan volume air bertambah sehingga air merambat ke pemukiman warga.

Pendangkalan sungai ini terjadi dari tahun ke tahun sejak dibukanya izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di sana. Puncaknya terjadi antara 2006-2011 yang jadi musim semi investasi pertambangan di Sultra.

WALHI juga mencatat ada 38.400 hektare tutupan pohon di Konawe Utara telah hilang. Hutan Primer di sana juga dialihfungsikan sebagai kawasan pertambangan dan kebun kelapa sawit seluas 458 hektar. Juga 3.777 hektar hutan sekunder dan deforestasi ini terjadi dalam kurun waktu 2000-2016.

Hal ini menunjukan bahwa maraknya izin lahan pakai yang dikeluarkan KLHK di sana. Jika ini terus berlanjut maka tidak kemungkinan bencana yang lebih besar lagi akan terjadi.

Mengingat besarnya potensi sumber daya alam di Konawe Utara, seharusnya semua stakeholder di negeri ini kembali meninjau asas manfaat terkait izin yang ada. Sebab izin ini bukannya membawa manfaat yang baik bagi masyarakat justru menimbulkan musibah.

Dari pihak perusahaan, baik tambang maupun kelapa sawit harus menjaga lingkungan. Artinya, mereka tidak berlebihan dalam mengelola alam demi meningkatkan produktivitas demi keuntungan pribadi dengan mengabaikan lingkungan dan masyarakat.

KLIK INI:  Indonesia Angkat Kebijakan Reforma Agraria di Sidang APFC