- Siap-siap, Mobil Penghasil CO2 Bakal Dihapus - 28/03/2023
- Sederet Tanaman Hias yang Bisa Berpuasa dari Sinar Matahari - 28/03/2023
- DPR Didesak Hentikan Solusi Palsu Energi Baru dalam RUU EBET - 27/03/2023
Klikhijau.com – Profesor Johannes Knops belum lama ini mengungkapkan, hilangnya keanekaragaman hayati adalah salah satu tantangan lingkungan terbesar kita di dunia. Mungkin lebih penting daripada perubahan iklim.
Menurutnya permasalahan perubahan iklim dapat diperbaiki dengan menghentikan emisi lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer. Namun, jika kita kehilangan suatu spesies, itu akan hilang selamanya.
“Hilangnya keanekaragaman hayati terjadi di banyak tempat yang berbeda. Dan ada kesenjangan dalam pemahaman kita bersama tentang hal itu. Kolaborasi ini dapat membantu kami mencapai konsensus tentang di mana melakukan upaya untuk meningkatkan keanekaragaman hayati, ”kata Profesor Knops sperti dikutip dari Earth.
Prof Knops sendiri merupakan seorang peneliti di Xi’an Jiaotong-Liverpool University. Belum lama ini ia terlibat menulis studi global utama tentang hilangnya keanekaragaman hayati.
Studi tersebut diikuti oleh lebih dari 60 ahli dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Ecology and the Environment.
Hasil dari studi itu mengungkapkan bahwa lebih banyak spesies terancam punah daripada yang diperkirakan sebelumnya. Sebanyak 50% spesies telah terancam punah atau didorong kepunahan sejak tahun 1500, menurut hasil survei.
Data itu mereka dapatkan pada survei baru terhadap 3.331 ilmuwan, mereka mempelajari keanekaragaman hayati di 187 negara.
Faktor yang paling berpengaruh
Faktor paling berpengaruh yang mendorong hilangnya keanekaragaman hayati, menurut para ahli, adalah perubahan iklim, polusi, dan perubahan dan eksploitasi penggunaan lahan dan laut.
Studi tersebut dilakukan untuk membantu mengisi kesenjangan informasi tentang keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Hasilnya mengejutkan karena mereka menerima 3.331 tanggapan dari para ilmuwan yang berfokus pada semua spesies, habitat, dan ekosistem utama di Bumi.
Meski begitu, menurut Forest Isbell , penulis utama dan profesor di College of Biological Sciences di Universitas Minnesota mengatakan, para ahli juga mengakui ketidakpastian substansial seputar perkiraan mereka, dengan mungkin hanya 16% atau sebanyak 50% spesies terancam atau punah selama ini.
“Sambil mempertimbangkan jenis spesies dan ekosistem yang paling mereka ketahui. Para ahli memperkirakan bahwa sekitar 30% spesies telah terancam atau punah secara global sejak tahun 1500,” katanya.
Namun, meskipun persentase ini sangat bervariasi, perbedaannya mungkin karena perbedaan demografis dan geografis, yang diakui oleh survei.
Hanya saja, temuan mereka menunjukkan bahwa lebih banyak spesies mungkin terancam daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Dilansir dari Ecowatc, para ahli memperkirakan bahwa sejak tahun 1500, 30 persen dari semua spesies telah terancam punah atau didorong punah.
Jika tren saat ini berlanjut, ini bisa meningkat menjadi 37 persen pada tahun 2100. Namun, para ahli juga menekankan bahwa dengan upaya konservasi yang cepat dan ekstensif, hal ini dapat diturunkan menjadi 25 persen.
Sementara itu, Patricia Balvanera, rekan penulis di University of Mexico mencatat bahwa hasil survei menemukan, perempuan dan mereka yang berada di Global South. Cenderung memberikan perkiraan yang lebih tinggi tentang hilangnya keanekaragaman hayati.
“Juga, para ahli yang mengidentifikasi sebagai perempuan secara tidak proporsional mempelajari taksa yang menurut para ahli paling terancam,” tambah Balvanera.
Lebih besar dari yang diperkirakan
Dengan memasukkan informasi tentang taksa yang sering kurang dipelajari dan termasuk tanggapan dari para ahli yang kurang terwakili. Studi tersebut akhirnya menemukan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati global dari tahun 1500 hingga sekarang. Dampaknya bisa lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Sedangkan rekan penulis dari Universitas Tokyo, Jepang, Akira Mori mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati bersifat sangat regional. Karena itu, upaya penelitian yang dilakukan adalah untuk menyatukan pendapat para ahli regional dari seluruh dunia belum pernah terjadi sebelumnya.
“Dari perspektif keragaman dan inklusivitas sosial dan budaya, meskipun belum tentu lengkap, saya yakin kami telah memberikan saran-saran tertentu untuk diskusi kebijakan internasional di masa depan,” ungkapnya.
Hal lain yang bisa dipetik dari temuan itu adalah hilangnya keanekaragaman hayati global kemungkinan besar akan berdampak berbahaya pada ekosistem dan mengurangi kontribusi alam bagi manusia.
Hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi kehilangan itu menurut Profesor Knops adalah harus ada strategi pembagian lahan berfokus pada pemikiran tentang bagaimana pertanian dan kota dapat hidup berdampingan dengan keanekaragaman hayati.
“Strategi penghematan lahan memperluas ukuran kawasan lindung untuk meningkatkan keanekaragaman hayati sambil mempertahankan praktik pertanian intensif di tempat lain,” jelasnya.
Karena secara historis, ada penekanan yang lebih besar pada penghematan lahan dan pembuatan cagar alam, yang diajukan terutama oleh laki-laki kulit putih Amerika Utara dan Eropa.
“Perempuan dan orang-orang di Cina, Amerika Selatan dan Afrika, lebih menekankan pada pembagian tanah. Temuan ini menunjukkan bahwa mungkin ada fokus yang tidak proporsional pada penghematan lahan. Harus ada lebih banyak pertimbangan untuk pembagian lahan,” tambahnya.
Jika kita tidak bisa mengantisipasi kehilangan keanekaragaman hayati, maka bisa jadi “kiamat” bagi ekosistem. Karena setiap spesies memiliki rantai makanannya sendiri dan perlu berinteraksi dengan spesies lain dalam ekosistem, yang masing-masing penting bagi ekosistem.