Klikhijau.com – Jauh di bawah tanah hutan Kalimantan yang rimbun dan gelap, di tempat cahaya jarang menembus, berlangsung sebuah proses alami yang menakjubkan. Di dunia yang tak terlihat oleh mata manusia, jaringan-jaringan halus bernama hyphae membentang seperti kabut tipis, menghubungkan akar pepohonan dalam suatu simbiosis yang telah berlangsung selama lebih dari 400 juta tahun. Inilah kerajaan mycorrhizal fungi, makhluk-makhluk mikroskopis yang ternyata memegang peran sebagai arsitek utama kelangsungan hutan.
Mereka bekerja dalam diam, seperti sutradara tak terlihat di balik panggung ekosistem. Ketika pohon tua di hutan Amazon kekurangan fosfor, jamur-jamur inilah yang mengangkut nutrisi dari tanah dan menukarnya dengan gula hasil fotosintesis pohon—sebuah sistem barter alami yang dijelaskan secara mendalam dalam penelitian Suzanne Simard di Nature (1997).
Namun, hubungan ini lebih dari sekadar transaksi ekonomi alam; jaringan bawah tanah ini membentuk semacam sistem saraf kolektif, di mana informasi vital seperti serangan penyakit, kekeringan, bahkan kematian, bisa disebarkan dari satu individu ke lainnya.
Beberapa ilmuwan bahkan menyebut jaringan ini sebagai “Wood Wide Web,” menekankan betapa kompleks dan terorganisirnya kehidupan di bawah tanah, seolah-olah pepohonan sedang “berbicara” dalam bahasa yang tidak kita mengerti.
Namun, seperti kisah-kisah epik lainnya, ancaman datang ketika keseimbangan ini terganggu. Di Sumatra, di mana perkebunan monokultur menggantikan hutan heterogen, para peneliti menemukan fakta mencengangkan: jaringan jamur yang selama ribuan tahun menjadi tulang punggung ekosistem mulai terputus.
Perkebunan kelapa sawit yang luas tak sanggup menumbuhkan ikatan mendalam dengan jamur-jamur asli yang telah lama hidup di tanah itu. Dampaknya, kualitas tanah menurun drastis, sementara pohon-pohon asli yang masih bertahan menjadi lebih rentan terhadap serangan penyakit, kekeringan, dan rusaknya keseimbangan ekosistem secara menyeluruh.
Dampak ekologis ini tak hanya mengancam kelestarian hutan, tetapi juga turut memengaruhi kualitas hidup manusia. Ketika kesuburan tanah menurun, produktivitas pertanian lokal pun ikut terancam.
Ketika biodiversitas hilang, potensi penemuan obat-obatan alami dari jamur dan tumbuhan yang hidup dalam simbiosis pun ikut sirna. Kerusakan ini meluas, diam-diam tapi pasti, menandai terputusnya hubungan spiritual, ekologis, dan praktis antara manusia dan alam.
Meski penuh teka-teki dan keanggunan, alam selalu menyimpan celah bagi keajaiban untuk muncul. Di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, hasil luar biasa mulai terlihat setelah 15 tahun usaha reboisasi dan perlindungan yang berkesinambungan. Jaringan jamur yang sempat mati perlahan mulai bangkit kembali, menghubungkan pohon-pohon muda dengan para veteran yang selamat dari pembalakan liar. Jamur-jamur pionir ini bekerja sebagai tim medis darurat alam, memulihkan jalur komunikasi yang terputus dan mengembalikan aliran nutrisi yang vital dari dan ke seluruh jaringan akar pohon di hutan.
Ironisnya, pada saat para ilmuwan baru mulai memahami betapa kompleks dan pentingnya jaringan bawah tanah ini, ancaman semakin cepat menghampiri.
Data FAO (2023) menunjukkan bahwa setiap tahun, sekitar 10 juta hektar hutan hilang—dan bersamanya, seluruh peradaban mikroskopis yang tak tergantikan ikut musnah. Ini bukan hanya kehilangan pohon, tapi juga sistem pendukung kehidupan yang telah berkembang jauh sebelum manusia menjejakkan kaki di bumi. Padahal, solusi untuk krisis iklim mungkin saja telah ada di ujung-ujung hyphae ini. Studi terbaru menunjukkan bahwa jaringan jamur mampu menyimpan hingga 70% karbon tanah global, jauh lebih efektif daripada vegetasi di permukaan yang selama ini lebih mendapat sorotan.
Mungkin pelajaran terbesar dari kisah ini adalah tentang kerendahan hati. Selama ini manusia sibuk menciptakan teknologi canggih—dari satelit pemantau cuaca hingga kecerdasan buatan—untuk menyelamatkan bumi. Namun, di bawah kaki kita, alam diam-diam telah mengembangkan sistem yang jauh lebih cerdas dan berkelanjutan selama ratusan juta tahun.
Jamur-jamur ini tidak membutuhkan algoritma, tidak memerlukan satelit, dan tidak tertarik pada blockchain. Mereka hanya membutuhkan kita untuk berhenti sejenak, mendengar bisikan bumi, dan memberi mereka ruang untuk bekerja sebagaimana mestinya.
Seperti kata pepatah: “Hutan tidak membutuhkan kita; kitalah yang membutuhkan hutan—dan semua yang diam-diam hidup di dalamnya.” Maka mungkin, dalam senyap dan keheningan bawah tanah, kita bisa menemukan jawaban yang selama ini kita cari: cara untuk hidup selaras dengan bumi, bukan di atasnya.