- Siap-siap, Mobil Penghasil CO2 Bakal Dihapus - 28/03/2023
- Sederet Tanaman Hias yang Bisa Berpuasa dari Sinar Matahari - 28/03/2023
- DPR Didesak Hentikan Solusi Palsu Energi Baru dalam RUU EBET - 27/03/2023
Klikhijau.com – Ketika saya jenuh di indekos, sekadar nongkrong di salah satu waralaba terbesar identik dengan warna merah-kuning-biru yang menyediakan tempat duduk santai bagi pelanggan menjadi kebiasaan.
Beberapa hari lalu, saya dan seorang teman mengunjunginya setelah sekian lama tak ke sana karena keadaan pandemi ini. Kita mencari snack dan minuman, lalu membayarnya di kasir dan memutuskan untuk di makan saja di sana sambal bersantai.
Di sebelah tempat saya duduk, ada gerombolan anak-anak kuliahan—yang kebetulan kita kenal—juga sedang asyik ngobrol di tempat tersebut dengan suara keras-keras dan semeja penuh aneka rupa makanan.
Sekira satu jam kemudian, mereka meninggalkan tempat dan sungguh, sampah bungkus snack dan minum mereka yag seabrek tak dibereskan.
Tentu, hal itu meembuat saya jengkel. Dan teman saya—karena memang dia anak konservasi dan zero waste gedek dan spontan, memarahi mereka ketika memundurkan kursi hendak cabut.
Keengganan yang membudaya
“Hai, abis makan dengan nikmat, tapi membereskan begitu saja tidak bisa. Masa dari sekian banyak dari kalian tak ada yang punya inisiatif membereskannya. Toh, sudah disediakan tempat sampah. Bereskan sekarang, nggak?”
Mereka sontak menjawab, “kan ada pegawainya? Nanti mesti bakal dibereskan.”
Hal semacam ini bukan kali pertama saya jumpai. Tapi sungguh sering, dan pasti refleks untuk mengomeli.
Bukan bermaksud untuk sok benar sendiri dan sok zero waste atau apalah itu, tapi bagaimanapun itu bentuk tanggung jawab individu yang mustinya dilakukan.
Sekadar membereskan tempat makan dan membuang ke sampah saja tak bisa, bagaimana dengan tanggung jawab yang lain?
Di restoran cepat saji pun sering begitu, eperti biasa, banyak meja yang kosong tapi kotor dengan sisa makanan dan minuman yang dibiarkan di meja. Saya pun pun hanya bisa menghela napas dengan sedikit jengkel.
Budaya membersihkan sisa makanan sendiri memang belum umum di negeri ini.
Kita mungkin memang belum terbiasa saja dengan kebiasaan ini walaupun kedai, restoran fast-food sudah ada di Indonesia selama puluhan tahun, dan juga karena tidak ada edukasi serius dari pihak pengelola .
Tetapi agaknya ada factor-faktor lain yang mungkin menghambat bangsa kita untuk mau memulai kebiasaan membersihkan meja sendiri.
Jika saya refleks menegur langsung, atau sekadar membikin snap di story WhatsApp “mengapa kok kalian kerap tak membereskan meja kalian setelah kalian makan di tempat?”
Ada beberapa suara sumbang yang menjawab senada seperti “Ngapain sih dibersihin sendiri? Nanti keenakan dong para karyawannya, digaji tapi nggak kerja”.
Beberapa yang lain juga menimpali dengan cerita ketika mereka hendak membersihkan sendiri sisa makanan mereka, mereka dicemooh oleh teman-teman dan bahkan keluarga mereka sendiri.
Mental majikan
Saya menyebut ini dengan “mental-mental majikan”. Bahkan semacam ada perasaan ‘rugi’ jika harus melakukan itu, karena sudah orang lain yang digaji untuk melakukannya.
Tetapi “mental majikan” juga tidak membantu sama sekali. Sama seperti tamu restoran fast food yang tidak membersihkan sendiri sisa makanannya akhirnya membuat restoran tersebut menjadi kotor dan tidak nyaman bagi semua orang.
Sebetulnya masalahnya sederhana, dibikin pelik. Budaya dilayani yang menjadi peninggalan masa colonial telah mengakar kuat. Seperti yang kita pelajari di bangku sekolah, pada masa kolonial, masyarakat dibagi dalam beberapa tingkat.
Tingkat atas dilayani tingkat bawah. Pribumi kala itu ditempatkan melayani kelas pertama (kaukasian/kulit putih/bule) dan kelas kedua (pedagang dari Tiongkok, India, Timur Tengah).
Pengalaman buruk ini mengakar kuat dalam benak masyarakat kita, sehingga melihat bahwa jenis pekerjaan yang melayani itu rendahan, sedangkan dilayani akan menempatkan kita dalam dalam position of power.
Dalam sinetron-sinetron di Tanah Air juga terlihat begitu dikontraskan antara ‘orang kaya’ dan ‘orang miskin’, dengan perbedaan utama adalah ‘memiliki pembantu rumah tangga’. Adegan yang seringkali muncul adalah berkumpul di meja makan dan mengobrol untuk menggali alur cerita sambil dilayani di meja makan.
Tentu saja dengan pemikiran bawah sadar semacam itu, bila makan di restoran, masyarakat kita otomatis ingin segala-galanya dilayani, sebab merasa berada dalam position of power (mereka bisa membayar makanan) sehingga musti mendapat pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Itu mengapa terasa kontras dengan semangat imbauan beberes sendiri setelah makan di restoran cepat saji.
Masalah sampah ini emang tidak ada habisnya dari hulu ke hilir. Tetapi jika setiap kita mulai sedikit membantu dengan clean up our own mess, mungkin bisa membantu. Mungkin. Atau minimal, tak usah ngegas jika diingatkan untuk beberes meja makannya sendiri. Begitu!