- Kaktus Centong, Tanaman Hias yang Bisa Menjernihkan Air Sungai - 28/03/2023
- Pohon Air Mata - 26/03/2023
- Pisang Mas, Potensi Desa Kindang yang Belum Dilirik - 22/03/2023
Klikhijau.com – Hari minggu sore, seekor paus dengan panjang 9,5 meter ditemukan telah menjadi bangkai di sekitar Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kematiannya mengenaskan dan mengundang banyak pertanyaan, sebab dikitari sampah plastik dan potongan kayu. Bahkan saat perut paus dibelah, di dalamnya juga berisi beragam sampah plastik seberat kurang lebih 6 kilo. Bayangkan, 6 kilo sampah dalam perut ikan paus itu.
Sampah-sampah dalam perut paus tersebut terdiri dari plastik keras 19 buah seberat 140 gram, botol plastik 4 buah 150 gram, kantong plastik 25 buah 260 gram. Ada pula sepasang sandal jepit seberat 270 gram hingga tali rafia 3,6 kilogram dan gelas-gelas plastik. Kejadian itu telah berlalu, yakni 18 November 2018, tapi akan tetap basah diingatan kita semua. Bagaimana ancaman nyata plastik bagi mamalia laut.
KLIK INI: Strategi Atasi Sanitasi Buruk, Jadi Isu Krusial Kepala Daerah se-Indonesia di Makassar Bulan Ini
KLIK INI: Memanfaatkan Sampah Botol Plastik Untuk Membuat Kebun Hidroponik, Ini Tipsnya!
Cerita kematian seekor paus di Wakatobi, yang disinyalir disebabkan oleh sampah plastik, sepertinya benar adanya. Sebab sebuah penelitian terbaru di Amerika Serikat, seperti yang dimuat Kompas.com, Sabtu 2 Februari 2019 mengungkap kabar buruk yang menimpa para mamalia laut. Penelitian tersebut mengamati tentang “infeksi” mikroplastik pada sistem pencernaan hewan laut yang terdampar di lepas pantai AS.
Penenelitian itu meski sangat jauh dari Wakatobi, tapi ditemukan kesamaan yang mengancam mamalia laut, yakni plastik, jika paus yang mati di Wakatobi ditemukan banyak sampah dalam perutnya, maka penelitian tersebut menemukan mikroplastik dalam diri mamalia laut.
Mikroplastik menurut WikipideA adalah potongan kecil dari plastik yang dapat mencemari lingkungan. Meskipun ada beberapa pendapat mengenai ukurannya, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS telah mengklasifikasikan mikroplastik dengan diameter yang kurang dari 5 mm. Mereka dapat berasal dari berbagai sumber, seperti kosmetik, pakaian, dan proses industri.
Ada dua klasifikasi dari mikro saat ini ada 2, yaitu: mikro primer yang produksinya merupakan hasil langsung dari bahan manusia dan penggunaan suatu produk, dan mikro sekunder berasal dari pemecahan puing-puing plastik yang lebih besar seperti bagian makroskopik yang membentuk sebagian besar dari Great Pacific Garbage Patch. Kedua jenis ini diakui bertahan di lingkungan pada tingkat yang cukup tinggi, terutama di ekosistem akuatik dan ekosisitem laut.
Karena plastik tidak dapat rusak selama bertahun-tahun, plastik dapat tertelan dan masuk dan terakumulasi ke dalam, tubuh dan jaringan banyak organisme. Seluruh siklus dan pergerakan mikroplastik di lingkungan, meski masih belum banyak diketahui, tetapi penelitian sedang dilakukan untuk menyelidiki masalah ini.
Nah, para peneliti di Amerika Serikat menemukan materi mikroplastik pada setiap makhluk yang diuji. Hal ini kemudian dilaporkan dalam jurnal Scientific Reports. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari 50 hewan oleh anggota Scottish Marine Animal Stranding Scheme dan the Cetacean Strandings Investigation Programme.
Dari 50 hewan tersebut ditemukan fakta mencengangkan, yakni terdapat 84 persen plastik pada makhluk-makhluk laut itu berjenis serat sintetis dari produk seperti pakaian dan jaring ikan. Sisanya adalah plastik dari kemasan makanan dan minuman.
Penting untuk diketahui, mikroplastik dalam penelitian ini didefiniskan sebagai fragmen yang berukuran 5 milimeter atau lebih kecil. Hasil penelitian menemukan, jumlah mikroplastik pada hewan yang mati akibat infeksi lebih banyak dibanding makhluk laut yang mati dengan sebab lain. Hanya saja masih belum jelas apakah plastik-plastik itu yang menyebabkan infeksi pada mamalia laut.
“(Penelitian) ini menyoroti besarnya polusi plastik. Kami berharap menemukan plastik tetapi agar terkejut ketika menemukan serat plastik di setiap hewan dari semua spesies,” ungkap Brendan Godley, Profesor ilmu konservasi di University of Exeter dikutip dari Newsweek, Kamis, 31 Januari 2019.
Meski temuan tersebut cukup mengagetkan, tapi Godley masih cukup merasa lega karena ukuran plastik yang mereka temukan relatif kecil sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh hewan-hewan itu. Namun, masih belum diketahui apa dampak dari mikroplastik tersebut pada tubuh mamalia laut.
Sementara itu, kepala kelompok penelitian plastik laut di Plymouth Marine Laboratory, Penelope Lindeque mengatakan mereka belum tahu efek dari partikel-partikel ini pada mamalia laut. Ukurannya yang kecil berarti mereka bisa dengan mudah dikeluarkan.
“Tetapi sementara mikroplastik tidak mungkin menjadi ancaman utama bagi spesies ini, kami masih khawatir dengan dampak dari bakterim virus, dan kontaminan yang dibawa pada plastik,” imbuhnya.
Penelitian tersebut menurut Godley juga menekankan, nantinya penelitian ini akan diperluas dengan menggunakan sampel dari berbagai lokasi geografis. Hasil penelitian tersebut dan kematian paus di Wakatobi patut dijadikan acuan tidak membuang sampah sembarangan dan meminimalisir penggunaan plastik demi kelangsungan hidup bumi ini dan makhluk hidup di dalamnya yang terancam karena plastik, termasuk manusia (ir)