Juli 2021, Jerman Berlakukan Larangan Produk Plastik Sekali Pakai

oleh -487 kali dilihat
Juli 2021, Jerman Berlakukan Larangan Produk Plastik Sekali Pakai
Ilustrasi - Foto/Aura
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Sebagai respon atas massifnya pemakaian plastik, Kabinet Jerman akhirnya menyepakati larangan  produk plastik sekali pakai (single use).

Regulasi ini akan berlaku mulai 3 Juli 2021 mendatang. Jenis plastik sekali pakai yang paling ditekan adalah sedotan sekali pakai dan juga tempat makanan dan minuman.

Larangan ini sejalan dengan pedoman dari Uni Eropa untuk kurangi limbah plastik.

Melansir DW, kebijakan ini dipastikan akan berdampak luas pada kegiatan keseharian warga Jerman. Penjualan benda-benda seperti tangkai plastik untuk memegang balon, serta cangkir dan kotak polistirena juga akan dilarang mulai di tanggal sama.

Departemen Lingkungan Hidup Svenja Schulze mengatakan, keputusan itu termasuk upaya meninggalkan “kebudayaan senang membuang”.

KLIK INI:  Ketika Luhut Bicara Tentang Perang Melawan Sampah Plastik

Untuk diketahui, Pemerintah Jerman menemukan bahwa hingga 20% sampah yang dikumpulkan dari taman-taman dan fasilitas publik lainnya di Negara itu terdiri dari plastik sekali pakai, terutama kontainer polistirena.

“Banyak produk plastik sekali pakai tak berguna dan berasal dari sumber yang bersifat tidak berkelanjutan”, demikian diungkap Schulze.

Menurut data yang dipublikasikan Badan Lingkungan Hidup Jerman atau Umweltbundesamt (UBA), Jerman mencetak rekor dalam hal limbah pengepakan di tahun 2017, ketika limbah itu mencapai 18,7 juta ton.

Ancaman polusi polistirena

Dalam sebuah jalur polusi lain, ilmuwan sudah menemukan polistirena di dalam tubuh organisme kecil yang tinggal di dalam tanah di Antartika.

KLIK INI:  Memahami Bahaya Plastik Mikro pada Puntung Rokok bagi Kesehatan

Penemuan itu menyulut dugaan bahwa polusi mikroplastik sudah masuk sangat dalam ke ekosistem yang berbasis di tanah, di daerah yang paling terpencil di dunia.

Walaupun ilmuwan tidak bisa membuktikan bahwa mikroplastik sudah menyebar di seluruh lautan dunia, studi tersebut jadi contoh pertama kontaminasi pada rantai makanan di Antarktik.

“Jadi plastik sudah masuk bahkan jaringan tanah yang paling terpencil di planet ini, dengan potensi risiko bagi seluruh biota dan ekosistem”, demikian dikatakan para ilmuwan setelah penemuan mereka dipublikasikan di jurnal Biology Letters.

Kontroversi polistirena

Seperti dikutip Wikipedia, polisterina adalah sebuah polimer dengan monomer stirena, sebuah hidrokarbon cair yang dibuat secara komersial dari minyak bumi. Pada suhu ruangan, polistirena biasanya bersifat termoplastik padat, dapat mencair pada suhu yang lebih tinggi. Stirena tergolong senyawa aromatik.

KLIK INI:  Selain Biota Laut, Rusa di Nara Park Juga Mati Karena Sampah Plastik

Benda ini pertama kali dibuat pada 1839 oleh Eduard Simon, seorang apoteker Jerman. Ketika mengisolasi zat tersebut dari resin alami, dia tidak menyadari apa yang dia telah temukan. Seorang kimiawan organik Jerman lainnya, Hermann Staudinger, menyadari bahwa penemuan Simon terdiri dari rantai panjang molekul stirena, yang adalah sebuah polimer plastik.

Polistirena banyak dipakai dalam kemasan makanan berbahan atau dikenal dengan Styrofoam. Bahan ini memang cukup kontroversi, ada yang menyebut bahan utama yang secara ilmiah dikenal dengan “stirena” tidak aman untuk kesehatan dan berdampak buruk bagi tubuh manusia.

Namun, ada pula yang mengatakan bahan ini relatif aman. Dilansir Medcom.id, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, menyebut, polistirena busa merupakan bahan organik.

Unsur yang membentuk polistirena busa adalah karbon, oksigen, hidrogen dan nitrogen. Komposisi plastik di dalam kemasan makanan polistirena hanya sebesar 5-10 persen, selebihnya adalah udara.

Masalah polistirena tentu tidak saja soal aman atau tidaknya sebagai pembungkus makanan bagi kesehatan. Tetapi ini soal ancaman polusi sampah di baliknya. Meskipun beragam model daur ulang bahan polistirena mulai ditemukan, namun perilaku buangan sampah jenis ini berpotensi tak terkendali.

Di Indonesia, bahan ini massif digunakan dan volumenya meningkat tajam seiring massifnya sistem delivery.

KLIK INI:  Mengulik 20 Alasan Kenapa Hutan Memiliki Arti Penting untuk Dilestarikan