- Atasi Triple Planetary Krisis, KLHK Gelar Penanam Mangrove Serentak di 24 Titik - 24/04/2024
- Babak Baru Kasus Makelar Kayu Ilegal Asal Lutim, Berkas Dilimpahkan ke Kejari Tana Toraja - 24/04/2024
- Hari Bumi 2024: Ford Foundation Dukung BRWA Kelola Registrasi Wilayah Adat di Tapanuli Utara dan Lutra - 23/04/2024
Klikhijau.com – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyikapi pernyataan atau klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang penurunan deforestasi.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, (Ditjen PKTL KLHK) menyatakan deforestasi di Indonesia turun hingga 75,03 % pada periode 2019-2020.
Pernyataan tersebut dirilis pada 03 Maret 2021, dimana pada 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha dan di tahun 2019-2020 menurun sampai 115,46 ribu ha.
JPIK menyikapi pernyataan Ditjen PKTL KLHK tersebut. JPIK menilai, justru perubahan tutupan hutan di Indonesia masih terjadi setiap tahunnya.
Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pembangunan sektor non kehutanan, perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, pertambangan, perambahan, pembalakan liar dan kebakaran hutan.
Salah satu penyebab deforestasi di Indonesia disebabkan oleh landclearing perkebunan kelapa sawit. Dari data KPK yang dikeluarkan tahun 2020, perkebunan kelapa sawit yang berada dalam Kawasan Hutan saat ini sekitar 3.443.508 ha. Angka tersebut cukup besar dan menjadi ancaman serius bagi hutan primer di Indonesia.
JPIK: Deforestasi bahkan bisa meningkat
Selain itu, Penyebab lainnya adalah karena masih maraknya kasus pembalakan liar. Dinamisator Nasional JPIK, Muhammad Ichwan menyebutkan, sejak 2019-2020 ada 158 kasus pembalakan liar yang ditangani oleh Gakkum yang sudah P21. Selain itu, ada 212 kasus operasi yang dilakukan oleh Gakkum.
JPIK beranggapan, ancaman deforestasi ini justru akan meningkat. Karena melihat setelah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja diberlakukan.
“Misalnya kita ambil contoh UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 dimana pada pasal 18 ketentuan mempertahankan minimal 30% kawasan hutan telah dihilangkan. Dianggap tidak relevan lagi. Kemudian pada UU P3H No 18 Tahun 2013 membuka celah keterlanjuran usaha illegal didalam kawasan hutan, yang diberi waktu 3 tahun untuk diselesaikan, dan jika melampui batas hanya disangsi administrasi (Pasal 110A),” jelas Ichwan.
Dengan demikian, tambahnya, sangsi pidana investasi sawit illegal dalam kawasan hutan dihapuskan dan diganti sangsi admistrasi. Selain itu, dengan diberlakukannya PermenLHK No 24/Tahun 2020 tentang Food Estate, ini malah akan menambah ancaman laju deforestasi di Indonesia.
Muhammad Ichwan mengungkapkan, terbitnya peraturan PermenLHK No 24/Tahun 2020 tentang Food Estate, akan membuka ruang untuk melakukan landclearing secara besar-besaran, tanpa terkecuali pada hutan lindung. Bahkan kayu-kayu dengan potensi yang estisaminya 1 jutaan Meter Kubik akan terancam hilang.
JPIK merekomendasikan kepada Pemerintah KLHK dan jajarannya di Daerah untuk lebih memperkuat pengawasan di sektor kehutanan.
Kemudian juga meningkatkan ruang keterbukaan informasi bagi masyarakat sipil atau pemantau independen.
Karena selama ini masih banyak data-data yang belum terbuka, seperti SIPUHH, kemudian SIPHPL, dan data V-Legal. Karena data-data itu yang penting untuk pemantau independen untuk melakukan analisis dan pemantauan di lapangan.
Kemudian juga untuk menuntaskan kasus Illegal Logging yang masih terjadi di Indonesia, kami merekomendasikan kepada Gakkum KLHK, PPATK, dan KPK agar saling memperkuat penegakan hukum di sektor kehutanan.