Islam dan Solidaritas Alam Bagi Kaum Beragama

oleh -435 kali dilihat
Ilustrasi masjid hijau. Foto: pixabay
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Hasrat dan ambisi manusia baik yang beragama maupun yang tidak, yang islam maupun lainnya untuk serakah terhadap sumber daya alam/material nyaris tanpa batas. Segala sesuatu dirampas dari bumi, bukan hanya sekadar mengambil tetapi menjual agar mendapatkan keuntungan berlipat-lipat tanpa memikirkan akibat.

Konsumsi  berlebihan pun merusak keseimbangan alam: tanah kehilangan nutrisi, cadangan air menyusut dan tercemari, hingga lapisan atmosfer menipis dan berlubang di sana-sini. Bukankah manusia dipandu ajaran agama untuk tidak berlebihan menuhankan nafsu serakah?

Bukankan manusia beriman terbangun kesadaran akan hakikat hidupnya bahwa apa yang dirusak dan dihancurkan akan diminta pertanggungjawaban, dan juga dalam waktu dekat yang dibinasakan itu akan menuntut resiko?

Orang-orang pasti akan merasakan dampak buruk kerusakan lingkungan. Kaum beragama yang tidak memiliki solidaritas alam inilah yang membenarkan dakwaan Lynn White (1967) bahwa agama langit menjadi pangkal kerusakan lingkungan hidup. Sebuah tesis yang provokatif tetapi sangat penting untuk direnungkan dan disangkal secara langkah aktif-emansipatif.

Islam menganjurkan penganutnya untuk tidak menaklukkan alam, dalam arti mengeksplorasi sumber daya alam secara brutal. Manusia dapat memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan perintah Allah (Syed Hossein Nasr, 2001).

KLIK INI:  Energi Terbarukan di Indonesia yang Tertinggal dan Jalan di Tempat?

Selain itu, ada banyak sekali ayat-ayat dan hadis ekologis—dimana kaum beragama harus punya keberpihakan kepada keseimbangan ekosistem hidup yang menaungi bersama. Bahkan, dalam Islam ada perintah menanam benih di bumi walau besok akan terjadi kiamat (kehancuran semesta).

Hal ini menunjukkan ada kekuatan teologi lingkungan yang sangat kuat dalam agama islam, walau memang kenyataanya kurang diindahkan akibat arus modernisasi, teknokrasi, dan teknologisasi yang secara pelan dan cepat mengubah relasi manusia dengan alam semesta.

Dalam banyak praktik yang kita amati sehari-hari seringkali kaum beragama menjadi sangat dominan dan superior di hadapan alam. Menurut de Groot & den Born (2007)ada empat jenis relasi manusia dengan alam.

Pertama adalah sebagai Master yang memperlihatkan posisi kuasa absolut manusia kepada alam—alam adalah obyek yang bisa dimanfaatkan sebesar-besar untuk manusia.

Kedua, relasi berupa Stewardship dimana relasi dibangun lebih adil karena alam sebagai anugerah yang harus dipastikan kelestariannya.

Ketiga, partisipan yaitu manusia hanya menjadi peserta dari eksosistem hidup, dan terakhir adalah Partnership dimana manusia dan alam memiliki derajat yang setara atau apa yang disebut sebagai deep ecology.

KLIK INI:  Peringati HPSN 2020, Ini 7 Aksi Paling Spektakuler dan Meriah

Relasi di atas akan sangat mempengaruhi respon manusia kepada kondisi-kondisi alam yang ada. Menurut hemat penulis ada minimal tiga respon yang biasa kita jumpai ketika ada persoalan menyangkut keselamatan lingkungan hidup.

Pertama, respon Mendaruratkan.  Pembakaran hutan adalah teroris lingkungan hidup. Kedua, respon menormalisasi: sikap toleran terhadap keadaan yang hancur lebur; dan ketiga adalah respon mengadvokasi atau membela. Respon ini menujukkan upaya pembelaaan sekuatnya dengan segala sumber daya terbaik yang dimilikinya demi menjaga alam.

Masih sangat relevan memaknai apa yang pernah disampaikan oleh Buya Syafi’i Maarif (2006) bahwa Islam yang tidak memberikan solusi bagi persoalan bangsa, bukanlah Islam yang sebenar-benarnya. Mempertanyakan kontribusi umat islam selama lebih dari satu abad terakhir pasti akan mendapatkan jawaban yang beragam. Mulai dari jawaban yang ‘biasa’ sampai dengan jawaban yang ditopang dengan beragam data penelitian dan analisa.

Persoalan ‘memuaskan’ atau tidak tentu bukan kapasitas penulis untuk menjelaskan. Secara faktual, ada persoalan-persoalan kekinian misalnya: kemiskinan, pelanggaran HAM, kekerasan, bencana ekologis, dan keserakahan kapitalisme. Maka, kelompok gerakan sosial berbasis agama sebagai organisasi besar harus terus menerus menemukan jawabannya. Tentu tidak bisa dengan berpangku tangan.

KLIK INI:  Gandeng Komunitas Lingkungan, BRC Bersihkan Pantai Losari dari Sampah Plastik

Reformis-ekologis

Minimal ada dua hal yang perlu didorong dalam gerakan ekologi berbasis keagamaan. Pertama, ada kesadaran yang aktual dan progresif untuk mengidentifikasi akibat tindakan manusia dengan modernitas dan rasionalitasnya di dalam galaksi  perubahan ekologi. Yaitu bagaimana membangun konsepsi baru tentang berbagai konsekuensi dari perilaku manusia terhadap alam dalam sistem lingkungan yang semakin kompleks. Kedua, tentang hubungan antara alam, kerja produktif dan alienasi manusia. Dilema abad pencerahan dan rasionaltas haruslah dikritisi secara radikal.

Upaya manusia melawan ketidakpastian dengan menaklukkan berbagai kondisi di luar dirinya berujung pada kerusakan. Reformasi teologi yang mengarah pada ecotheology dapat juga diinspirasi dari pemikiran kritis untuk mendorong idealita tetap bertahan.

Dominasi manusia kepada alam jelas akan menjadikan relasi tidak adil bagi banyak hal. Upaya transformasi sosial hendaknya digunakan sebesar-besarnya untuk keselamatan lingkungan. Karena ini adalah capaian besar yang layak diperjuangkan.

Secara struktural dan kelembagaan Muhammadiyah terlibat dalam isu/wacana dan program lingkungan hidup sejak tahun 2005, tepatnya setelah enam tahun gelombang reformasi politik menerpa Bangsa Indonesia.

Secara politik, liberalisasi pembangunan, ekspansi pasar, modernitas, konsumsi, dan teknologi menciptakan degradasi terhadap keamanan lingkungan di semua penjuru Indonesia baik perkotaan, pedesaan, juga di lahan-lahan perhutanan dan lautan.

KLIK INI:  Energi Baru Terbarukan di Desa, Paradoks dalam Kepingan Harapan

Semua terpapar persoalan lingkungan yang tidak semua gerakan sosial keagamaan dapat mengidentifikasi dimana akar persoalannya. Sehingga kehilangan referensi untuk merespon dan menerapkan tindakan antisipatif maupun kuratif terhadap degradasi lingkungan. Di sinilah posisi reformasi dalam praksis ekologis diperlukan oleh gerakan sosial seperti Muhammadiyah dan NU.

Dalam hal ini, meskipun agak terlambat Muhammadiyah relatif memiliki keberanian untuk terlibat dan membangun kesadaran teologis yang memadai. Tentu dalam upaya merespon persoalan lingkungan seperti keputusan organisasi mengenai fikih air, fikih kebencanaan, dan juga buku teologi lingkungan hidup.

Selain itu adalah akselerasi pelembagaan di Muhammadiyah dengan dilahirkannya Lembaga Lingkungan Hidup (MLH) tahun 2005 dan menjadi Majelis Lingkungan Hidup (MLH) pada Muktamar tahun 2015 di Makasar. Menjadikan Lembaga menjadi Majelis artinya, wilayah geraknya menjadi sangat penting bagi persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam tulisan ini saya perlu mengapresiasi bagaimana Muhammadiyah membangun solidaritas dengan alam raya. Salah satu buah keputusan Muktamar tahun 2005 menghasilkan satu buku panduan hidup islami warga Muhammadiyah yang didalamnya mendorong warga Muhammadiyah dan ummat islam untuk lebih ramah lingkungan.

Keputusan ini kemudian penulis sebut sebagai “Etika Hijau  MUHAMMADIYAH” yang terdiri atas enam butir antara lain: (1). Lingkungan hidup merupakan anugerah Allah yang harus dipelihara; (2) Warga Muhammadiyah wajib melakukan konservasi sumberdaya alam; (3) Warga Muhammadiyah dilarang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan bencana; (4). Mempraktikkan budaya bersih, sehat, dan indah.; (5) Melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam menghadapi Ketidakadikan lingkungan hidup akibat rekayasa kebijakan pemerintah.; (6). Melakukan aksi-aksi praksis untuk menjaga keseimbangan, kelestarian dan keselamatan lingkungan (Sumber: Buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, 2005).

KLIK INI:  Juli 2021 Jadi Bulan Terpanas dalam 142 Tahun Terakhir

Teologi lingkungan, fikih anti-plastik dan sebagainya yang juga diperkuat oleh Muhamamdiyah dan NU hendaklah dipahami sebagai bentuk dari teologi lingkungan yang responsif terhadap kerusakan, kerentanan, dan keselamatan ekologi.

Di dalamnya juga ada banyak upaya kultural yang telah diangkat dalam tataran praksis seperti keberadaan FNKSD, Kader Hijau Muhamamdiyah, dan ada banyak yang lainnya yang mengarahkan pada menguatnya environmental citizenship atau gerakan islam ekologis: fikih air, ecomasjid, ecojihad, sekolah sungai, memanen hujan, menjaga hutan, diet plastik adalah serangkain terminologi dari praksis gerakan yang dapat kita catat sebagai upaya menyelamatkan bumi.

Reformasi di bidang fikih keagamaan hendaklah terus dibenturkan dengan realitas sehingga semakin aktual di dalam memberikan respon, dengan demikian agenda transformasi sosial yang mengarusutamakan kepentingan lingkungan menjadi sesuatu visi yang terus didekatkan kepada kenyataan sosial-politik.

Harapan pada Islam Ekologis

Iman yang tidak mendorong kepada upaya-upaya penyelamatan lingkungan adalah iman yang perlu diluruskan. Kaum agamawan harus adil di dalam pikiran dan perbuatan di dalam memberikan respon kepada persoalan keselamatan lingkungan.

Agama-agama besar, punya otoritas besar untuk mempengaruhi kebijakan negara dan dunia global agar lebih memikirkan planet sebagai hunian Bersama dan mengesampingkan tirani tekhnologi, kapitalisme dengan skala ulta industrial, dan juga negara yang terlalu teknokratik-rasional yang tuna ekoliterasi—sehingga kerap kali pembangunan yang dibanggakan justru menghancurkan kelestarian lingkungan hidup.

Jika Muhammadiyah dan NU berhasil menjadi gerakan reformis pada skala masing-masing sesuai konteks dan tafsirnya, tentu saja dua ormas besar ini diharapkan akan berhasil mewujudkan bukan hanya islam yang washatitah secara keagamaan atau ideologi, tetapu juga islam yang benar-benar rahmat bagi seru sekalian alam yang tak lain tak bukan adalah islam ekologis!

KLIK INI:  Akuilah Tempat Sampah Memang Menjijikkan, Tapi Sangat Dibutuhkan, Kenapa?

David Efendi, Kader Hijau Muhammadiyah