Indonesia Tak Ambisius dalam Target Penurunan Emisi, Ini Kritik Madani dan WAHLI!

oleh -110 kali dilihat
Indonesia Tak Ambisius dalam Target Penurunan Emisi, Ini Kritik Madani dan WAHLI!
Presiden AS, Joe Biden pada Climate Leaders Summit 2021 - Foto/Youtube Reuters

Klikhijau.com – Sejatinya Indonesia sangat berpotensi memimpin negara-negara di dunia dalam menangani krisis iklim.

Selain merupakan negara ketiga terbesar pemilik hutan hujan tropis di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia juga berhasil dalam menurunkan deforestasi hingga 75 persen di periode 2019-2020.

Namun sangat disayangkan, Pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden tak menyiratkan hal tersebut.

Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektare yang mana lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia. Namun, hanya dengan pencapaian itu saja belum cukup.

Masih diperlukan upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan Kehutanan (LULUCF) tersebut.

KLIK INI:  Banjir di Sulsel, Sinyal Kuat Krisis Iklim yang Sungguh Nyata?

“Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru dengan menambahkan 9,4 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi dalam PIPPIB, PIAPS, serta di luar izin dan konsesi akan membantu Indonesia menekan kembali angka deforestasinya,” ungkap Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Yosi menambahkan, melindungi hutan alam yang telanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang terdepan dalam menangani krisis iklim dunia.

Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia telah menargetkan di sektor kehutanan skenario paling ambisius (LCCP) terhadap laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan di periode tahun 2031-2050 sebesar 99 ribu hektare per tahun.

“Dengan skenario ini, Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2070, dengan syarat Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC,” tambah Yosi Amelia.

Presiden Joko Widodo pada pidatonya juga menyebutkan mengenai target pemulihan mangrove seluas 620 ribu hektare yang memang patut diapresiasi.

“Namun perlu adanya peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres BRGM, target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020,” ujar Yossi.

KLIK INI:  Reforma Agraria dalam Perspektif Ekologi Politis

Sayangnya, kata Yossi, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara itu di sisi lain 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak.

“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera merealisasikan target restorasi gambut yang telah ada. Juga memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 lalu, tidak hanya pada ekosistem gambut yang berada di luar area izin/konsesi namun juga ekosistem gambut yang berada di dalam area izin/konsesi,” jelas Yosi.

Presiden Joko Widodo juga menyampaikan terkait peluang dan rencana pengembangan biofuel di Indonesia. Menurut Yoso Amelia, upaya penurunan emisi karbon sektor energi dengan menggunakan energi terbarukan biofuel harus dilakukan dengan hati-hati.

Hal itu karena jangan sampai upaya pengembangan biofuel ini mengorbankan hutan alam Indonesia dengan menggantikan hutan alam menjadi hutan tanaman energi atau memperluas perkebunan sawit guna memenuhi bahan baku biofuel.

“Pembukaan hutan dan lahan untuk biofuel akan berisiko meningkatkan deforestasi sehingga Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya serta mencapai net zero emission di tahun 2050,” ungkap Yosi Amelia.

Negara-negara peserta KTT telah menyampaikan komitmen yang lebih ambisius mengurangi emisi dalam upaya memerangi krisis iklim, termasuk negara Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.

Namun, Indonesia sendiri belum berani menunjukkan komitmen yang ambisius untuk mencapai net zero emission sebelum tahun 2050.

KLIK INI:  10 Januari, Hari Gerakan Satu Juta Pohon, Memanen Filosofi Kehidupan!

“Seharusnya Pertemuan Leaders Summit on Climate ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim, serta menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyampaikan pencapaian netral karbon (net zero emission) di tahun 2050 sebagaimana ditargetkan di dalam Persetujuan Paris,” tutup Nadia Hadad.

Respons WALHI

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga kecewa dengan konten pidato Presiden Jokowi pada Leaders Summit on Climate.

WALHI menilai pidato tersebut menunjukkan tidak adanya sense of crisis kepala negara atas situasi Indonesia yang secara nyata sudah menderita dampak perubahan iklim.

Faktanya, sejumlah bencana ekologis telah di depan mata seperti cuaca ekstrim yang memicu banjir besar di Kalimantan Selatan, serta siklon tropis Seroja yang melanda wilayah Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya.

Tidak disampaikannya komitmen penurunan emisi yang agresif dalam pertemuan para pemimpin dunia juga menunjukkan tendensi Indonesia untuk menjauhkan diri dari pergaulan global yang bertujuan untuk menyelamatkan umat manusia, terutama generasi yang akan datang, dari bahaya krisis iklim.

Sebagai salah satu negara yang terdampak besar, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bisa memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak,  dengan cara menunjukkan kepemimpinan nyata dalam menurunkan emisi di dalam negeri melalui kebijakan serta rencana yang sistematis dan terukur.

Sayangnya, dalam pertemuan ini Presiden justru melakukan business as usual, yaitu penanganan perubahan iklim berbasis proyek, yang dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya terbukti tidak berhasil dan tidak berkelanjutan.

“Pertemuan Leaders Summit on Climate merupakan missed opportunity bagi Indonesia. Di tengah urgensi krisis iklim, Presiden justru tampil ambigu, alih-alih mengambil langkah kepemimpinan yang berani, yang bisa menginspirasi para pemimpin dunia lainnya.” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

KLIK INI:  Ngeri, 1.400 Spesies Burung Musnah di Tangan Manusia?