- Defisit Narasi Lingkungan dalam Politik Lokal di Indonesia - 28/12/2023
- Demmatande, Pejuang Pemberani dari Kampung Paladan Mamasa - 10/11/2023
- Kota, Suhu Panas dan Ketimpangan Sosial - 02/11/2023
Klikhijau.com – Kemunculan pandemi Covid-19 telah merusak konstalasi kehidupan dan menyisakan duka di bumi. Harus diakui, bahwa kemunculan virus ini adalah bagian dari kelalaian manusia yang selama ini melakukan kerusakan lingkungan secara massif di bumi.
Apakah pandemi Covid-19 satu-satunya tamu paling mengerikan? Tidak rupanya! Sejumlah ilmuan memprediksi kemungkinan adanya kemunculan pandemi baru yang mungkin jauh lebih mengerikan bila krisis ekologi tak bisa dihentikan.
Guna mencegah pandemi kembali terjadi, empat orang ilmuwan yang terdiri dari Profesor Josef Settele, Sandra Díaz, Eduardo Brondizio – ketiganya turut menyusun “2019 IPBES Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services” dan Dr. Peter Daszak, Presiden EcoHealth Alliance menuliskan solusinya.
Tiga solusi ini yang ditawarkan dijabarkan dalam artikel berjudul “COVID-19 Stimulus Measures Must Save Lives, Protect Livelihoods, and Safeguard Nature to Reduce the Risk of Future Pandemics” yang diterbitkan dalam situs Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) baru-baru ini.
Krisis ekologi yang menahun
Menurut tim ilmuwan ini, lebih dari 70% penyakit seperti COVID-19 yang menginfeksi tubuh kita berasal dari tumbuhan, satwa liar (TSL) dan ternak. Deforestasi, perluasan lahan dan eksploitasi pertanian, tambang, pembangunan infrastruktur seperti jalan yang serampangan serta eksploitasi perdagangan tumbuhan dan satwa liar telah mendorong menularnya penyakit dari TSL ke manusia.
Manusia telah merusak lebih dari tiga perempat daratan, menghancurkan lebih dari 85% lahan basah (danau, situ, empang, rawa dan paya). Juga telah menggunakan lebih dari sepertiga lahan dan 75% air tawar untuk produksi pertanian dan peternakan.
Ditambah perdagangan tumbuhan satwa liar yang semakin tidak terkontrol serta melonjaknya perjalanan udara, virus – yang selama ini bersirkulasi dengan aman di antara spesies kelelawar yang ada di Asia Tenggara – semakin mudah menginfeksi hampir 3 juta manusia di seluruh dunia, memicu penderitaan yang tak terbayangkan, dan hampir membekukan ekonomi semua negara di bumi.
Tim ilmuan menegaskan, pandemi COVID-19 saat ini kemungkinan hanyalah awal dari pandemi berikutnya.
“Walau penyakit yang menular dari hewan ke manusia (zoonosis, Red.) telah mencabut sekitar 700.000 nyawa per tahun, potensi terjadinya pandemi baru di masa datang sangat besar,” tulis mereka.
Tim ilmuwan menyebutkan, ada 1,7 juta virus yang mampu menginfeksi manusia, yang masih bersarang di satwa liar, terutama pada mamalia dan burung-burung air. Beberapa di antaranya berpotensi memicu penyakit yang lebih dahsyat dan lebih fatal dari COVID-19.
Pandemi di masa datang, diperkirakan juga akan lebih sering terjadi dan menyebar lebih cepat dengan dampak ekonomi dan korban yang lebih besar jika kita tidak berhati-hati dengan pilihan-pilihan pembuatan kebijakan dan penerapannya saat ini.
Tawarkan 3 aksi mengurangi pandemi
Untuk itu, ada tiga aksi yang harus dilakukan segera untuk mengurangi dampak pandemi saat ini dan mencegah meningkatkan risiko terjadinya krisis pandemi dan wabah berikutnya. Ketiga aksi tersebut adalah:
Pertama, kita harus memastikan bahwa regulasi lingkungan dan penegakan hukum lingkungan diperkuat, bukan sebaliknya. Stimulus harus menyasar pada aktivitas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, bukan aktivitas yang merusak alam.
Mengendorkan peraturan lingkungan, guna menggenjot industri dan pertanian paska pandemi COVID-19 hanya akan meningkatkan potensi terjadinya pandemi baru. Demikian juga aksi untuk mensubsidi perjalanan udara dan industri bahan bakar fosil.
Kedua, kita harus menerapkan pendekatan “One Health” – diterjemahkan menjadi “Kesehatan yang Utama” – di semua level pengambilan keputusan dari level global ke lokal.
Caranya adalah dengan menyadari bahwa kesehatan manusia sangat terkait dengan kesehatan satwa, tumbuhan dan kesehatan lingkungan.
Kementerian Kehutanan misalnya, yang biasanya membuat kebijakan terkait dengan deforestasi yang menguntungkan sektor swasta, namun justru masyarakat yang harus menanggung risiko kesehatannya baik akibat kebakaran hutan atau pandemi saat ini.
Pendekatan “One Health” ini harus memastikan bahwa kebijakan pembangunan yang diambil, mempertimbangkan dampak dan kerugian terhadap manusia dan alam.
Ketiga, kita harus mendanai sistem kesehatan dan mendorong terwujudnya “perubahan perilaku” guna mencegah risiko pandemi. Caranya adalah dengan meningkatkan kapasitas kesehatan di lokasi-lokasi yang rawan penyakit dan melakukan kampanye perubahan perilaku di masyarakat agar lebih menjaga kebersihan, kesehatan dan kelestarian lingkungan.
Perubahan transformatif juga harus dilakukan dengan mengambil pembelajaran terbaik dari pandemi yang terjadi saat ini. Aksi BAU atau ‘business as usual’ menurut tim ilmuwan tidak boleh lagi terjadi.
“Kita bisa membangun masa depan yang lebih baik dan keluar dari krisis dengan lebih kuat jika dan hanya jika kita membuat kebijakan dan beraksi melindungi alam – sehingga alam juga bisa membantu melindungi kita semua,” tulis mereka.