Hutan Senja

oleh -270 kali dilihat
Hutan senja
Ilustrasi-foto/Pixabay
Nona Reni

“Jangan ke sana!” teriakanku menggema, terdengar seperti suatu hardikan.

“Kenapa? Bukankah itu yang kau inginkan?” Tanyanya tanpa berpaling. Ia tetap saja melangkah dan enggan menoleh.

“Tidak, aku tidak pernah menginginkan hal itu! Tolong, berhenti. Kumohon.”

“Terlambat, mungkin suatu saat nanti aku akan mengunjungimu lagi, melalui lagu atau mungkin melalui debu itu sendiri. Dan kau, aku kutuk seperti itu—kabut di matamu.”

KLIK INI:  Sebagai Hujan di Tubuhmu

Siluetnya lamat-lamat menjauh dan semakin jauh menghilang di keremangan hutan senja, hilang dalam kabut. Lalu terdengar suara angin mengabarkan tentang kisah misteri—pemudi patah hatinya, bidadari yang patah sayapnya, bahtera yang hilang kemudinya, ia pergi membawa cita dan cinta, atau tepatnya duka dan luka. Luka-luka dari segala laku-lakuku.

***

Dusun Bajaja, Desa Ulusalu, Kecamatan Latimojong begitu ning, ia berkabung. Puncak dari haru-biru yang pernah terjadi sebelum maupun sesudah kabut. Selasa 6 Oktober 2015, keheningannya dipecah oleh suara-suara berisik.

Pagi masih sangat muda hari itu, telingaku yang sedari tadi mendengar langkah-langkah kaki yang kaku, kontan membelalakkan mata. Kantukku terusik dan terusir. Tetapi mataku masih berkabut, ia masih setia bergelayut manja di sudut-sudutnya, sisa dari kutukan kemarin. Kabut yang senantiasa membuat mataku perih, memerah dan meneteskan kerikil-kerikil tajam. Kabut yang membuat hidungku melumerkan ingus, yang mungkin dua-tiga hari lagi akan terjangkiti ISPA.

Langkah kaki-kaki kaku itu berasal dari posko I rute pendakian. 2 meter dari rumahku. Warna seragam mereka begitu kontras. Mereka terdiri dari beberapa tim. Satu, dua, tiga …, aku menghitung jumlah mereka, kurang lebihnya ada lima tim. Ada yang berseragam orange, ada pula yang berseragam loreng, ada lagi yang sepertinya kelompok relawan—mukanya bopeng-bopeng.

KLIK INI:  Air Hilang dalam Hujan

“Hutan itu bertuan, yang masuk ke sana tidak akan selamat!” suara Ibu terdengar mengancam para gerombolan manusia itu.

“Kami tidak akan semberono dan merusak apa pun, Bu. Kami sudah sesuai prosedur. Kami tidak akan merusak dan mengambil apa pun. Tidak juga ada yang membawa bekal daging dan telur ke dalam sana,” Jawab salah satu komandan tim itu. Di baju seragam yang menutupi dada bidangnya bertengger satu tulisan, ‘Andi Mudzakkar’.

“Yakin?”  Ibu kini menimpali penjelasan kepala tim itu dengan santai, nyaris tanpa ekspresi.

“Kami telah membawa pemandu lokal yang paham betul kawasan ini, Bu. Sebagai juru kunci, tolong bukakan mata kami, kami hanya meminta agar seluruh tim sampai pada posko DVI dengan selamat dan lancar.”

“Apa untungnya buat saya?” suara Ibu terdengar ingin mencari-cari celah—keuntungan barangkali.

“Kami hanya memohon kerja samanya, Ibu Nurani. Di sana ada sesuatu yang menunggu kedatangan kami menjemputnya.”

“Tunggu, saya pi….”

“Aku bisa memandu kalian lewat mata batin, tetapi kalian harus janji membawa Avia pulang,” kataku memotong kalimat ibu.

“Avia?” tanya kepala tim itu terdengar seperti gumaman. Tak jelas antara menyebut Avia atau Siapa.

KLIK INI:  Bunga Badaria di Musim Hujan

Beberapa anggota tim melemparkan pandangan matanya ke arahku. Benak mereka dipenuhi pertanyaan. Tapi tidak seorang pun yang mampu memandang mataku, kabut ini terlalu tebal untuk mereka, hingga satu demi satu tertunduk dan meneteskan air mata. Aku menjelaskan dengan detail—terperinci tentang sosok dan wujud Avia, kekasihku. Tidak ada tanggapan selain angguk-anggukan pendek-patah-patah.

“Baiklah. Kita sepakat!”

“Ya, sepakat membawa berkat,” sambutku, menyalami tangannya.

***

Untuk sampai di posko DVI harus menempuh perjalanan selama 6 jam, tidak ada tanah bidang, artinya sesuatu yang menanjak dan curam adalah satu hal yang akan menjadi tantangan pertama, bukan satu-satunya. Perbekalan mereka hanya berupa air mineral dan gula merah, kesepakatannya seperti itu, tidak membawa makanan, tidak berburu dan memakan buah apapun yang terdapat dalam hutan, itu jika mereka ingin keluar dengan selamat.

“Kau tidak akan menemukan tempat itu jika kau mencoba mengkhianatiku,” gumamku.

Kulihat lamat-lamat jarum jam dinding, pukul 06.00 WITA—lewat sedikit mungkin, jarum panjangnya sedikit miring di posisi angka 5 atau 10, aku tidak begitu ingat. “Ah, Avia … harusnya kau tidak serampangan itu. Tunggulah sebentar lagi, mereka segera menjemputmu.”

KLIK INI:  Hujan Hijau
***

4 jam setelah keberangkatan di titik start, perjalanan mereka telah memasuki dusun Gamaru, para anggota tim kepayahan. Medannya terlalu sulit untuk ditahklukkan. Seharusnya sisa dua jam lagi untuk mencapai posko DVI, andai saja mereka terus berjalan.

“Perbekalan habis,” celetuk salah seorang anggota tim.

“Pukul berapa sekarang?” tanya yang lain.

“10.20 WIT.”

“Kita tersesat?” suara yang lain ikut menimpali.

“Ada kabut, ada kabut, ada kabut!” serempak tanpa komando suara mereka terdengar panik.

“Pulang-pulang! kabutnya disertai api. Mundur, kembali ke garis start tadi.” Perintah dari suara tak jelas orangnya itu membuat tim kocar-kacir.

“Sebentar, seseorang harus menemui Avia. Kau dan kau tinggal,” telunjuk Andi Mudzakkar menunjuk sembarang.

“Ah, tak usah pedulikan Avia, Ndan. Paling-paling juga sudah jadi korban dilalap api, kabut makin dekat, kita cari selamat dulu, Ndan.”

“Tidak, kalau kalian mau kembali, kembalilah! Aku tetap di sini mencari Avia.”

KLIK INI:  Pohon Sengon, Tanaman HTI yang Mudah Beradaptasi

“Tidak ada Avia dimari, Ndan! Percayalah.”

“Bagaimana kau bisa mengetahui dan yakin akan hal itu?”

“Ciri-ciri Avia saja tidak jelas, Ndan. Dia bilang ia seorang perempuan, lalu disanggahnya lagi, ia bidadari bersayap. Dia bilang badannya gemuk, pendek. Lalu disanggahnya lagi, ramping dan panjang. Hanya satu yang meyakinkan, ia berkulit putih kehitaman—terselubung kabut.”

“Aku akan mencarinya seperti ciri-ciri itu, pulanglah. Pukul 13.20 WIT aku menyusul pulang jika Avia tidak kutemukan.”

“Ah sepenting itukah, Ndan? Kalian tidak saling mengenal, kan?”

“Itu janjiku, jika Avia tidak ditemukan berarti nasib yang ke-10 orang itu akan teraniaya.”

“Ah, mistis dan realistis itu beda jauh, Ndan. Ayolah jangan menyiksa diri, esok kita kembali lagi dengan perbekalan yang cukup. Evakuasi harus segera diusaikan, sebelum kita tertelan kabut, keracunan lalu hilang—mati mungkin bahasa yang buruk, Ndan.”

“Aku tidak peduli, seorang pemimpin tidak pernah mengingkari janji dan sumpahnya sendiri. Meski harus berjuang sendiri, pulanglah!”

KLIK INI:  Pemerintah Harus Konsisten Mengurangi Deforestasi demi Capaian Komitmen Iklim

Kabut semakin tebal. Ia terbatuk-batuk sebentar. Lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling hutan yang ditumbuhi beberapa pohon-pohon purba. Setelah semua anak buahnya menghilang, kabut menepi dan sunyi terpecah oleh suara tangis seorang perempuan.

“Avia?”

Suara tangisan itu bertambah kencang.

“Avia? Kaukah itu? Seseorang mencarimu—ia lelaki bermata dan berwajah kabut. Ia menunggumu. Ikut aku pulang, ya!”

Avia menoleh, kabut yang menyelimutinya sirna.

“Masya Allah….”

Mukanya hancur, terbakar. Tubuhnya remuk. Di dekatnya bangkai-bangkai bergelimpungan. Di dadanya yang selamat dari retakan, ada dua wajah—bayi kembar siam yang semalam dilahirkannya. Bayi malang yang lemas tercekik sabuk—mabuk.

Andi Mudzakkar—sang komandan berdiri terpaku, kakinya serasa tertancap hingga ke inti bumi, shock. Hanya teriakan yang terdengar meraung hampir di seluruh hutan. Lalu kabut datang membekap mulutnya.

“Aviaaaaaa …”

***

Di sudut ruang, ratapan demi ratapan terdengar. Penglihatan yang sama persis dari sudut pandang si komandan itu nampak jelas di depan matanya yang berkabut.

“Avia, sayangku. Tahun depan datang lagi ya, tahun depannya juga. Aku tanamin ladang itu dengan pohon cengkeh, kau selalu menyukai wangi buahnya yang terbakar matahari bukan?”

“Datang lagi dengan bayi-bayi yang baru Via, biar kita makin kaya, biar kita tak usah memikirkan makan apa nantinya.”

Tak ada jawaban, Avia membisu, Avia-Avia yang lain juga enggan menjawab.

KLIK INI:  Aku Ingin Menjengukmu Lagi Nanti Tanpa Ada yang Tersakiti dari Bumi

Wajah lelaki berkabut itu terlihat lelah, bahunya berguncang. Kabut makin kuat mendobrak pupil matanya—keluar sebagai darah. Di tangannya terkumpul dua gepok besar kertas bergambar mantan presiden.

Avia pergi, ia meninggalkan banyak materi untuknya. Tapi tak ada nominal harga untuk satu nyawa bukan? Ia tersenyum lalu menangis, lalu kembali tersenyum. Kabut di wajahnya belum sirna, ia tinggal sebagai kutukan. Debu beterbangan, wangi Avia kembali mewangi. Ia melunasi janjinya, datang menemui kekasihnya dengan wujud tak kasat.

Sementara hutan kini berubah ladang cengkeh. Pohon-pohon purba menghilang, hutan menjelma luka.

KLIK INI:  Sebatang Pohon Mata