Hanya 10 Ribu Rupiah, Warga Katimbang Merdeka Menikmati Listrik

oleh -251 kali dilihat
Hanya 10 Ribu Rupiah, Warga Katimbang Merdeka Menikmati Listrik
Listrik yang terus menyala di rumah warga Katimbang/foto - Rie
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Ada kebutuhan yang tak bisa terhindarkan saat ini, yakni listrik. Ketika saya mengunjungi Senggaang, kampung paling ujung barat di Bulukumba. Saya melewati satu kampung yang bernama Katimbang.

Senggaang dan Katimbang berada pada naungan yang sama, Kelurahan Borongrappoa, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Tak banyak yang saya perhatikan ketika melewatinya. Saya sedang ingin sampai ke Senggaang—kampung yang menanamkan rasa penasaran dalam diri saya dengan cepat.

Berbeda ketika saya pulang dari Senggaang, saya leluasa memperhatikan Katimbang. Bahkan berkesempatan mampir di rumah beberapa warga.

KLIK INI:  Gadis Manis Ini Ubah Kantong Kresek Bekas jadi Tas Cantik

Ketika saya mampir di rumah salah seorang warga. Tatapan saya  terus saja menatap bohlam lampu di ruang tamunya. Tak ada yang berbeda dengan bohlam lampu pada umumnya—yang berbeda ia dibiarkan saja menyala—sepanjang waktu.

Padahal saat saya bertamu, sinar matahari sedang terik di siang hari. Rasanya tak ada alasan menyalakan lampu. Apalagi jika alasan itu untuk menerangi ruangan.

Hari itu, Minggu, 8 November 2020, saya mampir untuk melepas lelah sekaligus silaturahmi. Bagaimanapun di Katimbang termasuk ‘sumber’ keluarga besar saya.

Saat itu saya bersama ayah dan saudaranya, mereka tak ingin melepaskan begitu saja kesempatan bertemu dengan keluarganya yang telah puluhan tahun tak ditemuinya.

“Iya, tak pernah dimatikan, menyala terus,” ujar Ramli menjawab rasa penasaran saya kenapa lampunya tidak dipadamkan padahal hari sudah siang.

Ia bercerita banyak perihal lampu di kampungnya, Katimbang. Katanya, warga hanya membayar 10 ribu rupiah saja perbulan sebagai antisipasi jika ada yang rusak.

“Hanya ada uang pembukaan,” lanjutnya.

Uang pembukaan itu berjumlah satu juta rupiah per rumah. Itu dibayar ketika pertama akan mengambil listrik untuk biaya mesin, kabel, dan instalasi.

KLIK INI:  Iwan Dento, Benteng Kokoh Penyelamatan Ekosistem Karst Rammang-rammang
Ramah yang tak lekang waktu

Ada ciri khas dari warga Katimbang yang mayoritas petani, yakni keramahannya yang tak lekang oleh waktu.

Setiap ada warga yang melihat kami, mereka akan berteriak memanggil kami singgah. Sayangnya tak semua panggilan itu bisa kami penuhi.

Kami (saya, ayah dan saudaranya) hanya mampir di tiga rumah saja. Dan semua rumah yang kami singgahi menyuguhkan air minum. Dua menyuguhkan kopi dan satu menyuguhkan air putih.

Bahkan di rumah terakhir yang kami singgahi dengan suka rela memberi makan. Bukankah itu suatu tanda keramahan yang patut dilestarikan? Hmmm.

Pada rumah ketiga itu, pemandangan yang sama juga tersaji. Bohlam lampu di selasar rumah dan ruang tamu tidak dipadamkan

Apa yang dikatakan Ramli memang terbukti. Bahkan di masjid Katimbang yang berdinding seng pun lampu tetap menyala, padahal saat itu sedang sedang siang.

“Saya kadang matikanji,” ungkap Risna, yang rumahnya menjadi rumah ketiga yang kami singgahi.

Sebanyak apa pun warga Katimbang memakai listrik. Pembayarannya tetaplah sama, yakni sepuluh ribu rupiah perbulan.

Hal itu pula yang menjadikan masyarakat Katimang  leluasa kalau tidak ingin dikatakan  boros menggunakan sumber daya listrik.

“Hanya saja tidak boleh memakai kulkas,” terang Risna. Tapi rice cooker dan televise bisaji,” tambahnya

Sementara itu, Kammisi yang merupakan warga Katimbang, namun lebih banyak menghabiskan waktunya di Kendari mengaku jika listrik Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) itu belum terlalu lama, masih dikisaran empat tahun lalu.

“Sepertinya baru berjalan empat tahun, di kisaran tahun 2016. Karena saat itu saya belum ke Kendari. Saya masih sempat membawa pasir ke lokasi pembangunan PLTA,” jelasnya.

KLIK INI:  'Nteh', Cara Pegiat Lingkungan dan Seniman di Lombok Timur Galang Dana untuk Korban Bencana
Mayoritas petani

Kammisi memang saat ini menjadi perantau di Kendari, pulang sesekali saja. Di sana, pekerjaan yang dilakoni tetap sama, yakni bertani. Bedanya di Kendari ia menanam cengkih.

Di Katimbang, sebenarnya Kammisi juga cengkih dan  kopi yang menjadi komoditi yang banyak dibudidayakan di kampung yang berbatasan dengan Senggaang itu.

Masyarakat Katimbang menggunakan bahasa Konjo. Perihal bahasa ini masih jadi perdebatan, sebab ada yang berpendapat Konjo hanyalah dialek yang masuk ke bahasa Makasssar, yakni bahasa Makassar berdialek Konjo. Namun banyak pula yang  menganggap bahasa Konjo adalah bahasa yang berdiri sendiri—lepas dari bahasa Makassar.

Oya, jalanan menuju  Katimbang belum beraspal, tapi sudah bisa dilalui kendaraan, termasuk kendaraan roda empat.

Ketika saya berkunjung pada hari Minggu lalu, saya lebih memilih berjalan kaki. Katimbang adalah kampung yang tidak terlalu ramai.

Rumah yang berada di sana kurang lebih dari 20 rumah saja yang di dominasi rumah panggung yang terbuat dari kayu.

KLIK INI:  Tahun 2022, Indonesia Perlu Kejar Kesiapan Ekosistem Transisi Energi

Ada satu yang patut ditiru dari masyarakat Katimbang, yakni bisa memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan baik.

 Masyarakat bisa menjadikan Katimbang sebagai contoh, yang hidup mandiri menggunakan listrik dengan cara membangun PLTA. Listrik yang  sangat ramah lingkungan dan murah meriah—  yang dari masyarakata untuk masyarakat.

Saat ini warga Katimbang telah merdeka menggunakan listrik sepuasnya, kecuali kulkas, sebab warga Katimbang  bisa damai tanpa kulkas, sebab hawanya cukup dingin.

Selamat merdeka menggunakan listrik tanpa tergantung pada PLN, wahai warga Katimbang.

KLIK INI:  8 Penyebab Terjadinya Tanah Longsor dan Banjir Bandang, Poin Terakhir Patut Diwapadai!