Gua Batu Rammang-Rammang, Ruang Eksotik bernuansa Klasik Seolah di Istana Batu

oleh -542 kali dilihat
Gua Batu Rammang-Rammang, Ruang Eksotik bernuansa Klasik Seolah di Istana Batu
Fose Subhan Riyadi, anggota Komunitas KPAD di Gua Batu Rammang-Rammang Maros - Foto/Agung

Klikhijau.com – Di Rammang-Rammang desa Salenrang, Kecamatan Bontoa Maros, segala sisi kehidupan alamnya memancarkan pesona.

Di balik gugusan pegunungan karst yang bersejarah itu, ada metafora alam dari bebatuan klasik, bukit-bukit batu, gua batu hingga area persawahan. Semuanya, menjanjikan keindahan dan ruang perjumpaan kembali ke masa silam dengan alam yang otentik.

Gua batu, keindahan dari jarak dekat

Hari masih pagi saat kami tiba di Rammang-Rammang, hujan rintik tipis menyertai saat kami menelusur membelah sawah-sawah yang sedang musim tanam padi.

Sekira tiga tahun sebelumnya, saya pernah ke desa ini—tampaknya telah banyak berubah. Kecuali bebatuan dan gugusan karst, rumah-rumah dan bangunan kini semakin banyak.

KLIK INI:  Pemberdayaan Desa Wisata sebagai Pijakan Pemulihan Sektor Pariwisata Nasional

Tujuan kami kali ini adalah ke gua batu, sebuah spot baru yang belum familiar dan belum diresmiskan sebagai tempat wisata. Ini tentu kesempatan terbaik menjejakinya lebih awal.

Pekan sebelumnya, kawan kami, Eko Budiharto (45) sudah pernah ke gua batu—dari beliaulah kami mendengarkan cerita yang cukup meyakinkan untuk akhirnya memutuskan mertandang lagi, sama-sama.

Saat tiba di lokasi gua batu yang dimaksud, sebuah hutan batu tampak begitu megah layaknya istana batu. Kami takjub tiada tara! Tak hanya lantaran gugusan bebatu klasik itu eksotis, tetapi karena sebentar lagi kami akan berjalan ke sebuah gua, di sela-sela bebatuan tak beratutan itu.

Ini sungguh tak biasa dan tanpa menunggu lama, penjajakan dimulai. Kami berlima, selain Mas Eko Budiharto, ada Mas Yadi, Bintang dan Agung—kami dari Komunitas Petualang Apa Adanya (KPAD)—sebuah komunitas yang mulai intens menelusur ke spot-spot terdekat dari kota Makassar.

Jalan menuju gua batu harus melintasi sawah berair dengan sebuah jembatan bambu yang dirakit khusus hingga ke dalam gua. Yah, bambu rakit ini sengaja dibuat oleh warga setempat sebagai  jembatan memasuki gua.

KLIK INI:  Pasca Pandemi, Peluang Ekowisata Semakin Menanjak

Menurut Sakir (26), seorang warga Salenrang, setidaknya ada 300 batang bambu yang sambung-menyambung hingga ke dalam gua. Setiap bambu membentang sekira 7 hingga 8 meter, lalu dirakit dengan beberapa bambu untuk saling menguatkan dan cukup aman dilalui berjalan kaki.

“Harus hati-hati, karena bambunya licin, apalagi hujan!” pesan Mas Eko Budiharto saat petualangan masuk gua batu dimulai. Seperti tak percaya, saat berada di mulut gua, posisi badan harus menunduk karena ada bagian-bagian tertentu yang tetiba menyempit.

Awalnya cukup menyeramkan, setidaknya di sepuluh langkah pertama. Suasananya gelap gulita, jadi lampu senter harus dinyalakan. Posisi kaki yang berjejal pun perlu waspada. Bambu yang licin dan posisi bebatuan di atas kepala, membuat adrenalin berpacu.

Suasana semakin senyap dan terus terang memang sedikit menakutkan. Setidaknya, butuh sedikit keberanian untuk melanjutkan perjalanan mengikuti ujung bambu. Jaraknya juga cukup jauh, sekira 300 meter berada dalam gua yang gelap gulita.

KLIK INI:  6 Destinasi Wisata Religi Indonesia yang Menarik Dikunjungi

Namun, beberapa kali kami harus berhenti sejenak untuk mengambil gambar dan foto bersama. Di gua batu ini, semua bagian selalu mengejutkan dan benar-benar bernuansa klasik, instagrmable. Dijamin, aktivitas foto-foto di gua ini memang menggiurkan. Jadi, persiapkan baterai handphone atau kamera Anda yah!

Sembari berswafoto, jangan lupa perhatikan posisi kaki dan kepala. Bebatuannya lumayan tajam dan tentu berbahaya bila terbentur. Di beberapa bebatuan berbentuk meja yang menarik untuk swafoto juga perlu berhati-hati, begitu pula dengan jembatan bambu, semuanya licin tingkat dewa.

Kawan kami, Mas Eko Budharto bahkan sempat terjatuh sesaat setelah kami membuat rekaman video di atas bebatuan datar. “Ini pengalaman menarik, harus dicatat!” sembari tertawa menghibur mas Eko Budiharto.

Kami berhasil sampai ke ujung jembatan bambu dan beruntung bisa berjumpa Sakir yang sedang mengantar Hamsiah (50), kerabatnya. Darinya, kami mendengar cerita tambahan mengenai gua batu ini.

KLIK INI:  Merawat Asa Kampoeng Bambu Toddopulia di Masa Pandemi
Gua kenangan dan godaan investasi

Sembari bergerak melintasi jalan pulang ke titik awal, Hamsiah berkisah bahwa pada bulan Juni 2020 lalu, saat dirinya pulang kampung, jembatan bambu ini belum ada.

“Saya kaget, ternyata adami jembatan. Jadi, penasaran mau masuk. Makanya saya minta Sakir antar saya,” kata Hamsiah.

Hamsiah sebenarnya warga asli Salenrang Rammang-Rammang, tapi sudah lama merantau ke Kendari. Ia pun penasaran dengan suasana gua batu. Katanya, dulu gua ini tidak bisa dijangkau bila musim hujan karena genangan air bisa mencapai pinggang orang dewasa.

Ia pun ikut senang dan bangga dengan jembatan bambu yang katanya dibuat atas swakelola dan gotong royong bersama warga lokal setempat.

“Semasa kecil, kami menjadikan tempat ini untuk mencuci pakaian. Ada sumur dulu di sini pak!” tutur Hamsiah menunjuk ke sebuah titik yang dipenuhi air keruh.

KLIK INI:  5 Tempat Wisata Air Terjun Alami di Gowa yang Layak Dikunjungi

Cerita itu dibenarkan oleh Sakir yang juga punya kenangan masa kecil, bermain di gua batu ini. Keduanya pun sangat bangga karena semakin banyak pengunjung yang datang, bahkan berkali-kali kedatangan turis asing.

“Semua yang datang selalu takjub dengan pemandangan alam di sini!” kata Sakir. Karenanya, Sakir dan warga desa senantiasa berjuang untuk menjaga keaslian karst dan gua batu Rammang-Rammang. Baginya, ini warisan alam yang tak ternilai harganya.

Kata Sakir, berkali-kali ada godaan masuk ke desanya. Mereka adalah investor yang mencoba mengeksploitasi karst dan bebatuan menjadi produk-produk ekspor.

“Pernah ada investor marmer mau masuk, tapi kami di sini (warga: Red) menolak,” tegas Sakir. Anak muda ini dengan tegas mengatakan bahwa investasi hanya akan merusak bebatuan karst dan memiskinkan warga desa.

KLIK INI:  Mengulik Sensasi Panorama Rammang-rammang pada Jam Sepuluh Pagi!

“Sampai kapan pun, tempat ini akan kami pertahankan,” tegas Sakir semangat.

CAfe batu
Istirahat di sebuah Cafe berbukit batu di sekitar gua batu Rammang-Rammang Maros – Foto/Agung

Hujan tetiba mengguyur deras saat Sakir sebenarnya menawarkan kami menjejaki satu bagian di gua batu itu. Kami bergegas harus keluar, gua batu tentu tak aman bila hujan membawa petir. Beruntung, ratusan file-file foto menawan telah kami kumpulkan dalam kamera.

Gua batu yang eksotik ini bisa saja akan disesaki pengunjung suatu waktu. Tentu perlu dibenahi lagi terutama fasilitas dan akses masuk ke dalam gua. Faktor keamanan juga tak kalah pentingnya.

Lalu, siapa yang semestinya mengurus potensi wisata ini? Ini yang jadi pertanyaan, untuk sementara waktu ini dikelola warga setempat dan mungkin berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Apa pun itu, pariwisata di kawasan ini haruslah melibatkan warga desa agar semua bisa berdaya.

Faktanya, spot ini memang menjanjikan dan dapat menggerakkan semua pihak. Selepas dari gua batu ini, kami masih menghabiskan waktu berlama-lama menikmati teh hangat di sebuah cafe di atas bukit batu, hutan batu dan area persawahan yang membentang indah.

Sejujurnya, kami mendambakan menginap walau semalam dan menikmati kopi pagi di atas bukit batu. Makan siang dengan beras organik langsung dari petani lokal dan menikmati ikan nila berkembang biak di sekitar gua batu. Akhirnya, kami sadar, betapa alam Indonesia memang istimewa—meski belum sama sekali “diapa-apakan”.

KLIK INI:  Kiprah Iwan Dento, Mengawal Karts Rammang-rammang Maros