Gerakan anak muda mengalami kebangkitan dalam perjuangan politik lingkungan baik skala global maupun lokal. Kaum muda ini mengorganisir gerakan mereka dalam aksi kreatif dan inspiratif untuk menggerakkan energi anak muda yang selama ini banyak diragukan oleh generasi tua.
Kaum muda menyadari akan dampak dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Lemahnya komitmen politik global untuk memastikan persoalan lingkungan seperti pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan bisa terselesaikan.
Di tingkat global aksi Greta Thunberg di Swedia dengan gerakan ‘school strike’ telah membangun empati anak muda Eropa. Agar politisi yang selama ini tidak menyelesaikan tugas mereka harus mengerjakannya. Bagi Greta kita telah menyelesaikan tugas kita di sekolah tetapi politisi kita belum.
Gerakan aksi mogok sekolah ini telah melahirkan kebangkitan gerakan kaum muda di berbagai negara baik kawasan Eropa hingga Asia Tenggara (theguardian,15/02/19).
Gerakan demonstrasi secara bersama anak muda ini adalah bentuk ekspresi politik kaum muda yang selama ini mengalami alienasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis bangsa dan masa depan mereka.
Apa yang mereka mulai ini berdasarkan kegelisahan mereka akan perubahan iklim yang semakin memanas. Jonas mengatakan “for people under 18 in most countries, the only democratic right we have is to demonstrate. We don’t have representation” (1/03/19).
Hak hak kewargaan inilah yang digunakan oleh kaum muda. Karena tidak adanya representasi politik untuk menyuarakan kepentingan mereka. Namun anak-anak muda ini membangun politik identitas baru yang itu inklusif untuk kemajuan semua orang.
Indentitas ini bisa disebut sebagai ‘green collective indentity’. Lahirnya identitas kolektif politik hijau kaum muda di negara utara ini berbeda dengan politik identitas ekologi yang dihadir di kawasan negara selatan khususnya Indonesia.
Sedangkan di Eropa kebangkitan gerakan ekologi kaum muda lebih berfokus pada perubahan iklim. Sedangkan di Indonesia berpijak pada persoalan konflik agraria, advokasi warga dan lahir dari rahim organisasi keagamaan.
Ini menunjukkan bahwa gerakan lingkungan anak muda di Eropa lahir dari rahim aksi-aksi individu yang dibentuk oleh kebijakan negara dan pendidikan kewargaan yang progresif.
Gerakan anak ekologi kaum muda di Indonesia muncul dari afiliasi ormas keagamaan. Dimana anak anak muda dibentuk kematangan pengetahuan, kemandirian berfikir dan jaringan.
David Efendi (2017) mengatakan gerakan anak muda banyak berfokus pada gerakan ekologi yang dangkal, tidak menyentuh persoalan fundamental bangsa.
Misalnya, gerakan bank sampah, gerakan pendidikan lingkungan dan gerakan pelestarian alam. Ini barangkali sedikit berbeda dengan gerakan anak muda NU yang menamakan diri mereka sebagai ‘Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam’.
Gerakan kaum muda NU membangun basis identitas mereka yang berangkat dari banyak konflik sumber daya alam yang merugikan kaum Nahdliyin yang selama ini kurang diperhatikan oleh struktur pimpinan organisasi NU (Nashirulhaq, 2017, Kodir dan Mushoffa, 2017).
Politik identitas ini sebagai cara anak muda NU untuk mendapatkan pengakuan akan wajah gerakan politik baru di dalam struktural NU.
Fukuyama (2018) mengatakan identitas itu dibangun melalui pengakuan dan bisa dikontruksi untuk membedakan antara orang dalam dan orang luar.
Anak-anak muda ini membangun identitas mereka menjadi NU yang progresif sebagaimana KH. Hasyim Asyaria yang memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil, dengan menggunakan nama Nahdliyin sejak awal.
Untuk mendapatkan dukungan gerakan dari basis massa NU yang selama ini mengalami marginalisasi dari dakwah struktural. Yang tidak menyentuh persoalan ketidakadilan ekologis yang dihadapi oleh warga Nahdliyin.
Inilah wajah baru politik generasi muda NU yang selama ini membangun gerakan kultural ekologis pada basis massa dengan advokasi pada sejumlah wilayah yang mengalami konflik agraria antara perusahaan dan warga lokal. Anak muda ini mendorong tuntutan kepada pimpinan besar NU untuk berpihak pada persoalan ekologis dengan kerja kerja konkrit.
Front Hijau Nadhliyin, Politik Pengetahuan dan Advokasi Politik
Anak anak muda NU gelisah akan banyaknya persoalan warga NU yang tidak bisa diselesaikan oleh dakwah struktural yang menyebabkan warga Nadliyin banyak menjadi korban pembangunan.
Kegelisahan anak muda ini berhasil diwujudkan dalam agenda transformatif yang berhasil melahirkan organisasi Front Nahdliyin. Untuk kedaulatan sumber daya alam yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kedaulatan ekologis dan mendorong reformasi agraria di Indonesia (Nashirulhaq, 2017).
Agenda gerakan kaum muda ini diwujudkan dalam dua wilayah kerja yaitu, pertama kaum muda Nahdliyin melakukan kerja politik pengetahuan bagaimana menginternalisasikan gerakan ekologis ke dalam tubuh organisasi NU.
Dimana peran organisasi besar Islam Nusantara ini belum massif terhadap keberpihakan ekologis. Menyelamatkan warga Nahdliyin di akar rumput yang menjadi korban kejahatan korporasi.
Kerja politik pengetahuan ini dilakukan secara sistematis dalam bentuk sekolah pesantren agraria. Bertujuan untuk membangun ulama hijau di pesantren-pesantren dan memperkuat kesadaran ekologis warga Nahdliyin di basis massa.
Amalinda Savirani (2018) mengatakan politik ekologi anak muda NU melalui Front Nahdliyin ini telah berhasil membuat NU menjadi lebih pekak akan persoalan ekologis.
Para kaum muda ini berhasil memainkan peran politik pengetahuan yang dimana isu ekologis yang jarang diperbincangkan menjadi agenda gerakan dalam tubuh NU.
Kedua, kaum muda ini melakukan advokasi politik dengan mengorganisir kekuatan warga yang mengalami konflik agraria dengan perusahaan.
Seperti di Kendeng, Front Nahdliyin terlibat secara aktif mengorganisir berbagai organisasi yang memiliki prinsip perjuangan mandiri untuk melawan kejahatan penguasa dan korporasi.
Bahkan anak muda ini berhasil mendesak Pengurus Besar NU untuk mendukung perjuangan ibuk ibuk kendeng. Hal ini terbukti dengan peryataan sikap PB NU terhadap kasus Kendeng.
PB NU mendesak pemerintah Jawa Tengah untuk menghentikan pendirian pabrik semen di Kendeng Rembang. Meminta untuk dilakukan audit lingkungan terhadap perusahaan secara menyeluruh, ini demi kemaslahatan warga.
PB NU juga mendukung perjuangan ibuk-ibuk Kendeng untuk melindungi alam mereka dari kerusakan (www.mongabay.com, 16/08/14).
Kyai Imam Aziz dari PB NU mengatakan kita mengapresiasi perjuangan para kartini Kendeng yang turun aksi tanpa lelah demi membela tanah mereka dari rampasan meskipun harus mendapatkan intimidasi, mereka terus berjuang.
Pemerintah kita seharusnya malu. PB NU bersama Front Nahdliyin mendesak pemerintah membentuk satu instansi khusus yang bertugas mereview semua perizinan lingkungan di Indonesia. Menyelesaikan berbagai konflik SDA yang terjadi (www.mongabay.com, 16/08/14).
Apa yang diperjuangan kaum muda ini, telah berhasil menghadirkan wajah baru politik NU. Dimana wajah politik NU biasanya ditentukan ditangan Kyai dan cenderung mengalami fragmentasi namun ditangan anak muda ini karakter politik NU menjadi politik non-divisif atau politik yang menyatuhkan.
Politik non-divisif ini adalah “politik yang mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang dalam satu kepedulian pokok kehidupan: krisis bumi, kerusakan ekologis dan krisis kediaman kita ini.
Akibatnya, dia bersih dari prasangka apapun dan sanggup melintas bebas dari jenis ideologi apapun” (Muhammad dan Khalid, 2014: 632).
Anak anak muda ini bisa berkolaborasi dengan organisasi apapun untuk melakukan transformasi ekologis dengan kerja kerja advokatif di berbagai titik daerah yang mengalami konflik sumber daya alam.
Ini ditunjukkan dengan sikap politik kaum muda Nahdliyin yang mendorong perjuangan berbagai aktivis pro lingkungan di Indonesia. Perjuangan kaum muda ini untuk menggempur daya hancur kapitalisme yang semakin mengerikan. Dan memastikan spirit pengelolaan sumber daya yang berkeadilan berjalan dalam ranah kebijakan hingga implementasinya.
Ini upaya serius dan kerja kerja transformatif kaum muda demi kemajuan bangsa. Kaum muda Indonesia, bersatulah….