Euforia Hari Lingkungan Hidup di Tengah Ancaman Praktik SLAPP terhadap Aktivisme Lingkungan 

oleh -15 kali dilihat
Euforia Hari Lingkungan Hidup di Tengah Ancaman Praktik SLAPP terhadap Aktivisme Lingkungan 
Ilustrasi ekologi/foto-maxmanroe.com

Klikhijau.com – Setiap tanggal 5 Juni, masyarakat dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Di berbagai daerah, perayaan ini diramaikan dengan penanaman pohon, pawai hijau, lomba daur ulang, hingga kampanye digital bertagar ramah lingkungan. Semangat untuk menjaga bumi seolah menemukan momentumnya—diperkuat narasi kolektif akan pentingnya keberlanjutan.

Namun euforia Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini nampak terasa jauh lebih getir. Di tengah narasi perlindungan lingkungan yang disuarakan di balik mimbar pidato kekuasaan, di lapangan—di desa-desa, hutan adat, dan wilayah tambang—para pejuang lingkungan hidup terus dihantui ancaman, kekerasan bahkan kriminalisasi.

Dikutip dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), selama satu dekade terakhir tercatat 1.131 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena memperjuangkan hak mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dari data tersebut, 544 orang berlanjut ke meja hijau. Sungguh ironi, karena bagaimanapun ini bukan soal angka yang dapat ditempatkan sebagai statistik laporan biasa: ia adalah rekam suram bagaimana suara-suara yang berupaya mempertahankan kelestarian “dilenyapkan” atas nama investasi, keamanan dan pembangunan.

Siklus kriminalisasi aktivis lingkungan bukanlah gejala baru. Pada 2014, tercatat 44 kasus. Jumlah itu mengalami eskalasi signifikan menjadi 208 kasus pada 2017, kemudian cukup menurun menjadi 54 kasus pada tahun 2019. Tak berhenti, fenomena serupa masih berulang: pada 2022 tercatat 237 kasus, lalu turun menjadi 34 kasus pada 2024.

KLIK INI:  Puncak Hari Lingkungan Hidup 2023 di IKN, Ini Pesan Menteri Siti!

Padahal, perlindungan hukum terhadap aktivisme lingkungan hidup sudah telah lama ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Namun, pasal tersebut tampaknya masih mudah terkelupas dan pudar di hadapan gempuran kekuatan modal dan institusi hukum yang longgar prinsip.

Kerentanan perlindungan terhadap aktivis lingkungan semakin vulgar dipertontonkan saat publik menyaksikan bagaimana instrumen hukum digunakan sebagai senjata untuk membungkam kritik. Dalam banyak kasus, aktivis lingkungan dilaporkan balik oleh perusahaan yang mereka kritik dengan dalih pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.

Pola ini dikenal sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP—gugatan strategis untuk melumpuhkan partisipasi publik. Tujuan utamanya bukan memenangkan gugatan, melainkan membuat pembela lingkungan kehabisan tenaga, waktu, dan biaya untuk melawan balik.

Pada 1980-an, konsep SLAPP pertama kali diperkenalkan oleh dua akademisi Amerika Serikat, George W. Pring dan Penelope Canan. Dalam konteks lingkungan hidup, mereka menyebutnya Ecological-SLAPP: penggunaan hukum secara manipulatif oleh pihak berkepentingan untuk membungkam mereka yang menuntut keadilan ekologis. Kini, berbagai negara telah mengadopsi regulasi Anti-SLAPP untuk membendung praktik semacam itu. Sayangnya, Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal ini.

Memang, ada sedikit upaya hukum yang bisa dianggap sebagai pondasi, misalnya Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) No. 36 Tahun 2013 tentang pedoman penanganan perkara lingkungan hidup. Namun, tanpa peraturan yang operasional, mengikat, dan tegas dalam memberi perlindungan khusus terhadap pembela lingkungan, aturan tersebut cenderung impoten.

KLIK INI:  Peringati Hari Lingkungan, Phinisi Point Berbagi 1000 Bibit Tanaman dan Sedotan Bambu

Oleh karena itu, urgensi menerbitkan regulasi Anti-SLAPP yang komprehensif dan berdiri sendiri semakin tak bisa ditawar. Dalam konteks merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, Pemerintah dan legislatif harus segera merumuskan aturan hukum yang secara eksplisit mengatur mekanisme pencegahan SLAPP, perlindungan terhadap pelapor, serta sanksi terhadap pihak yang menyalahgunakan hukum untuk membungkam suara masyarakat. Tanpa strategi ini, perayaan Hari Lingkungan Hidup hanya menjadi ritus tahunan yang penuh slogan, tetapi hampa keberpihakan.

Masyarakat sipil telah memberi contoh bagaimana perlawanan terhadap SLAPP bisa dilakukan. Dalam beberapa kasus, seperti gugatan terhadap warga Wadas, penolakan reklamasi di Bali, atau advokasi hutan adat di Kalimantan, dukungan publik lewat solidaritas digital dan litigasi strategis mampu memberikan tekanan balik. Namun, daya lawan masyarakat sipil tidak akan cukup jika negara justru membiarkan hukum digunakan sebagai alat represi.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup seharusnya menjadi momentum untuk tidak sekadar merayakan kepedulian ekologis, tetapi juga mengevaluasi sejauh mana negara hadir dalam melindungi para pembelanya. Tanpa perlindungan terhadap suara-suara kritis, maka upaya pelestarian lingkungan hanya akan menjadi slogan yang kosong.

Pemerintah perlu segera mengesahkan regulasi antikriminalisasi terhadap aktivis, memperkuat mekanisme penerimaan pengaduan SLAPP, serta menjamin bahwa proses hukum tidak disalahgunakan untuk membungkam warga. Di saat yang sama, masyarakat sipil dan media harus tetap bersuara, membangun solidaritas, dan menjaga agar ruang demokrasi tetap terbuka bagi perjuangan lingkungan.

Dengan demikian, jika memang pembangunan berkelanjutan menjadi visi yang ingin dijalankan, maka melindungi pembela lingkungan hidup harus menjadi bagian integral dari strategi nasional. Tidak ada pembangunan yang berkelanjutan tanpa keadilan ekologis. Dan keadilan ekologis tidak akan pernah terwujud jika suara-suara pembela bumi terus dikriminalisasi.

Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini, mari kita bertanya secara reflektif: siapa yang sebenarnya kita rayakan? Apakah hanya hutan yang ditanami ulang, atau juga mereka yang mempertaruhkan kebebasannya untuk mempertahankan hak kita atas udara bersih dan air jernih?

KLIK INI:  Mahasiswa kirimi KLHK Surat Cinta Terkait Lingkungan