- Pesta Pora Pepohonan tanpa Pesta Demokrasi - 10/07/2025
- Mecemece, Jam Leluhur yang Tak Pernah Ingkar - 23/06/2025
- Waktu Terbaik Mencintai Hujan - 22/06/2025
Klikhijau.com – Sejak dulu, Ayah dan Ibu selalu bercerita tentang ere ambua’ itu. Letaknya di Dusun Tabbuakang, Desa Kahayya, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Ere ambua’ itu tak jauh dari kebun kopi Ibu. Saat air belum sampai ke rumah-rumah di tengah kebun. Pada waktu tertentu, di sanalah Ayah dan Ibu biasa mengambil air dan juga mandi.
Namun, ere ambua’ itu tak bisa diandalkan sepanjang tahun, sebab biasanya hanya akan muncul di akhir Juni atau awal Juli. Saat musim hujan sedang sangar-sangarnya—siang dan malam yang terkadang tanpa jeda. Di mana langit biru tak tampak dan tak ada sinar matahari sampai ke bumi.
Ere ambua’ itu muncul di celah-celah bebatuan di kebun kopi almarhum Puang Rahima. Waktu munculnya terbilang singkat, karena biasanya akan berakhir akan berakhir di bulan September.
Awalnya saya pikir airnya kecil saja, seperti mata air pada umumnya yang muncul di musim hujan. Namun, anggapan saya rupanya keliru. Airnya besar, mengalir deras tanpa henti, jernih, dan dingin.
Ere ambua’ terdiri dari dua kata. Ere dalam bahasa Konjo artinya air, sementara ambua’ bisa diartikan muncul atau naik ke permukaan. Namun, saat Ayah maupun Ibu menyebutnya, kedengarannya hanya satu kata saja, erembua’. Karenanya, saya akan dengan senang hati pada penulisan selanjutnya akan menggunakan kata erembua’.
Jadi, erembua’ adalah air muncul ke permukaan dari dalam tanah. Untuk kasus erembua’ di Desa Kahayya itu, hanya muncul sekali setahun—saat musim hujan. Itupu musim hujan di bulan Juni atau Juli.
Nuansa mistik
Ibu tak pernah berani ke erembua’ itu seorang diri. Bukan karena beliau pernah melihat atau mendengar hal-hal aneh. Bukan. Tetapi karena lokasinya yang dirimbuni pepohohan, batu besar berlumut dan kebun kopi yang tak terawat menjadikannya terasa mistik.
Apalagi aliran air itu entah datang dari mana, tiba-tiba saja muncul di celah batu dengan deras ditambah suaranya yang gemuruh seperti suara sungai.
Namun, ketika saya akhirnya menyempatkan diri mengunjunginya pada hari Sabtu, 6 Juli 2024 lalu. Nuansa mistik yang biasa dikhawatirkan Ibu tak terbukti.
Bukan tanpa alasan, meski pohon masih merimbun, batu-batu gunung masih berlumut, tapi pohoh-pohon kopi telah dirawat dengan baik oleh yang punya, belum lagi kopinya baru saja dipetik ditambah telah ada akses jalan setapak yang melintasi aliran airnya yang juga terlihat terawat, dan waktunya pun tepat, jelang siang saat matahari sedang bersinar plus saya bersama Ayah.
Saat saya menulis ini, erembua’ itu masih mengalir dengan deras, jernih, dingin, dan bersuara gemuruh, meski hujan siang dan malam telah beberapa hari ini tak lagi bertamu.
Ketika erembua’ itu telah muncul, biasanya penanda simbara’ (tidak hujan) akan segera datang.
Jadi, sahabat hijau, jika ingin menyaksikan, merasakan dingin dan mendengar suara gemuruh dari erembua’ itu, datanglah pada akhir Juni hingga September.
Semoga kalian beruntung.