Energi Penyelamat Bumi itu Bernama Mangrove, Teruslah Menjaganya!

oleh -173 kali dilihat
Energi Penyelamat Bumi itu Bernama Mangrove, Teruslah Menjaganya!
Kawasan mangrove - Foto/dok.KLHK

Klikhijau.com – Mangrove dan ekosistem di dalamnya punya peran strategis lebih dari sekadar penahan abrasi, tetapi juga dapat berdampak pada penyelamatan bumi dari krisis iklim.

Belum lama ini, Vox, media di Amerika Serikat, memilih mangrove Indonesia sebagai tanaman penyelamat bumi. Selain mangrove, Vox juga memilih pohon kacang Brasil dan pohon afromosia dari Kongo sebagai tanaman penyelamat.

Ada apa dengan mangrove atau bakau mengapa dinamai tanaman penting dalam proteksi dari krisis iklim?

Dilansir dari Forestdigest, sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Lampung di Desa Margasari mengungkap betapa tegakan bakau dapat menyerap karbon sebanyak 197,36 ton per hektare dan serasahnya 1,25 ton per hektare atau total 198,61 ton per hektare.

Mangrove terbukti memiliki kapasitas sebesar seperlima kali lipat dalam menyerap karbon dari pohon trembesi per hektare.

Ini tentu satu kabar baik bagi Indonesia, mengingat luasan mangrove di negeri ini terbilang cukup luas yakni sekitar 3,2 juta hektare. Juga ada sekitar 3 juta hektare padang lamun.

Dengan ekosistem demikian, mangrove dan padang lamun di negeri ini diperkirakan menyimpan 17% cadangan karbon global.

KLIK INI:  Menanti Pengembangan Praktik Pertanian Cerdas Iklim

Karbon di laut ini disebut blue carbon atau karbon biru, karbon yang terserap di atmosfer oleh ekosistem laut, penyerap 93% panas matahari.

Daniel Murdiyarso, pakar karbon dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan IPB University, dalam “Executive Brief: State of The Art Blue Carbon di Indonesia” pada 5 Mei 2021, menyebut bahwa potensi karbon bakau bernilai ekonomi tinggi.

Bahkan di era perdagangan karbon global, tambah Daniel, nilai ekonomi karbon bakau dapat mencapay US$ 90.000 per hektare. Lihat lebih pembahasan mengenai ekosistem mangrove DI SINI!

Nilai ini tak hanya dari karbon saja, tapi juga dari dimensi lainnya yakni ekowisata, pencegah abrasi, dan industri potensi perikanan. Itu artinya, jika Indonesia dapat melestarikan kawasan bakaunya yang seluas 3,2 juta hektare, potensi ekonominya dapat mencapai Rp 4.000 triliun.

Haruni Krisnawati, dari Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK mengatakan bahwa laju pertumbuhan mangrove yang tinggi (3,6 ± 1,1 miligram karbon per hektare per tahun membuat ia menjadi ekosistem terkuat dalam menyimpan karbon.

Emisi yang terserap oleh daun, batang, dan ranting mangrove akan gugur dan terkubur dalam perairan sehingga karbon tak segera menguap ke atas atmosfer. Singkatnya, mangrove mampu menahan emisi sehingga memproteksi atmosfer agar tidak kotor. Nah, inilah yang membuat bakau dinamai sang penyemat bumi.

KLIK INI:  Build Back Better, Strategi Jitu Atasi Lonjakan Emisi Pasca Pandemi

Dengan demikian, ekosistem mangrove patut dijaga dan dilestariakan agar dampak krisis iklim dapat diminimalkan. Sayangnya, di sejumlah daerah di Indonesia, kawasan mangrove juga terancam oleh banyak persoalan. Diantaranya alih fungsi lahan karena industri perikanan, perumahan dan lainnya.

Selain itu, penggunaan kayu bakau menjadi arang dan bahan baku kertas membuat penebangan massal sulit dibendung sehingga melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer.

Rohani Ambo Rappe, guru besar Universitas Hasanuddin, menjelaskan bahwa kumpulan tumbuhan berbunga di bawah air laut itu menjadi penyerap karbon dari atmosfer sehingga menyediakan makanan berlimpah bagi ekosistem laut.

Karena itu, kata Rohani mitigasi padang lamun tak hanya memproteksi dari krisis iklim, tetapi juga mendorong keragaman hayati laut.

KLHK saat ini sedang mendorong penelitian yang lebih luas tentang blue carbon untuk dijadikan panduan para pengambil keputusan dalam memanfaatkannya.

Hal ini penting, mengingat sejauh ini karbon biru masih jarang jadi perbincangan publik. Berbeda halnya dengan potensi karbon hutan daratan yang memang masuk dalam satu skema pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi.

“Laut menyerap 93% panas matahari dibanding daratan sehingga mempengaruhi pola hujan, suhu, dan iklim regional,” kata Anastasia Rita Tisiana Dwi Kuswardani dari Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam sebuah diskusi virtual beberapa hari lalu.

Ayo terus menjaga dan melestarikan mangrove kita untuk keberlanjutan!

KLIK INI:  KORAL: RUU Cipta Kerja Tenggelamkan Nasib Nelayan Kecil dan Tradisional