Energi Panas Bumi dan Persoalan yang Tak Pernah Selesai

oleh -15 kali dilihat
Energi Panas Bumi dan Persoalan yang Tak Pernah Selesai
Ilustrasi peristiwa alam-foto/Ist

Klikhijau.com – Dalam rencana besar pembangunan energi nasional, panas bumi atau geothermal sering disebut sebagai solusi menuju transisi energi bersih yang diharapkan mampu menekan laju krisis iklim.

Energi ini dianggap stabil, ramah lingkungan, dan memiliki emisi karbon jauh lebih rendah dibandingkan batu bara atau minyak bumi. Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, karena hampir setiap kawasan pegunungan menyimpan cadangan uap panas yang bisa diubah menjadi tenaga listrik.

Pemerintah melihat pengembangan geothermal sebagai langkah menuju kemandirian energi yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, di balik citra hijau yang sering digaungkan, tersimpan kisah lain yang jarang mendapat sorotan. Kisah tentang masyarakat adat yang kehilangan tanahnya, air yang berubah warna, udara yang menyesakkan akibat kebocoran gas, serta tekanan terhadap warga yang menolak proyek tersebut.

Di Flores, Dieng, Sorik Marapi, hingga Gunung Lawu, pola yang sama berulang. Izin proyek dikeluarkan dari jauh, pembangunan berjalan cepat, dan masyarakat yang keberatan justru mendapat stigma sebagai penghambat pembangunan. Energi yang disebut bersih ini ternyata tidak selalu bebas dari masalah. Ia membawa persoalan sosial dan ekologis yang menimbulkan luka di tingkat lokal.

KLIK INI:  Retornous A La Nature!

Hak Masyarakat Adat yang Terpinggirkan

Bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas dan spiritualitas mereka. Tanah adalah warisan leluhur yang harus dijaga, bukan sekadar aset ekonomi yang bisa diganti dengan uang atau fasilitas pembangunan. Karena itu, ketika proyek geothermal masuk ke wilayah adat dengan dalih energi hijau, banyak masyarakat adat merasa terancam.

Di Manggarai, masyarakat adat Poco Leok menolak proyek panas bumi yang dinilai melanggar batas wilayah adat. Mereka mengaku tidak pernah diajak berdialog atau dimintai persetujuan sebelum izin keluar.

Bagi mereka, proyek itu bukan hanya mengubah lanskap alam, tetapi juga mengusik keseimbangan hidup yang selama ini dijaga turun-temurun. Penolakan serupa terjadi di Lembata, Nagekeo, dan Bajawa. Mereka menilai proyek geothermal dijalankan tanpa menghormati prinsip persetujuan bebas dan didahului informasi yang memadai.

Dalam praktiknya, pemerintah dan perusahaan sering kali menggunakan pendekatan sepihak. Sosialisasi dilakukan setelah proyek ditetapkan, dan partisipasi masyarakat dianggap sekadar formalitas.

Perangkat hukum seperti izin lokasi dan izin usaha pertambangan bahkan digunakan untuk menguasai ruang hidup masyarakat adat. Di beberapa tempat, aparat keamanan dikerahkan untuk memastikan proyek berjalan, sementara warga yang menolak menghadapi intimidasi dan kriminalisasi.

Situasi ini menunjukkan bahwa transisi energi yang diklaim untuk kepentingan lingkungan global sering kali mengabaikan keadilan sosial di tingkat lokal. Hak masyarakat adat untuk menentukan masa depan tanahnya sendiri terpinggirkan oleh logika pembangunan yang menekankan efisiensi ekonomi. Energi bersih kehilangan makna ketika dibangun di atas ketidakadilan dan peminggiran manusia.

KLIK INI:  Aktivis Lingkungan Meninggal Bunuh Diri dan Mengapa Kita Mesti Meyakininya?

Luka Ekologis dibalik Energi Hijau

Secara teknis, geothermal memang menawarkan sumber energi yang stabil dan tidak bergantung pada cuaca. Namun, proses pengeboran dan eksploitasi energi panas bumi membawa risiko besar bagi lingkungan. Pengeboran sumur menembus lapisan bumi yang menyimpan fluida panas bertekanan tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, kebocoran bisa mencemari air tanah dan merusak ekosistem.

Kasus di Sorik Marapi menjadi contoh nyata. Kebocoran gas hidrogen sulfida menyebabkan puluhan warga keracunan, bahkan ada yang meninggal dunia. Di Dieng, ledakan sumur dan semburan lumpur panas beberapa kali terjadi, mengakibatkan korban luka dan rusaknya lahan pertanian. Selain itu, pembangunan jalan dan jaringan pipa di kawasan pegunungan menyebabkan pembukaan hutan yang berpotensi menimbulkan erosi dan longsor. Air buangan dari proyek pun kerap mengandung logam berat yang mencemari sungai dan sumber air masyarakat.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa klaim energi hijau tidak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Ketika air suci masyarakat adat berubah warna dan udara sekitar pengeboran dipenuhi bau belerang, label energi bersih terasa menjadi ironi. Banyak warga tidak pernah diberi penjelasan yang memadai tentang risiko ekologis yang mungkin terjadi. Padahal, keselamatan manusia dan kelestarian alam seharusnya menjadi bagian utama dari upaya transisi energi.

Menuju Transisi Energi yang Berkeadilan

Pemerintah menegaskan bahwa pengembangan geothermal merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target net zero pada 2060. Namun, pertanyaan penting muncul: energi hijau ini sebenarnya untuk siapa?

Di banyak daerah, warga yang tinggal paling dekat dengan lokasi proyek justru tidak menikmati manfaat langsung. Sebaliknya, mereka menanggung dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas pengeboran.

Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa transisi energi tidak cukup hanya berbicara soal teknologi dan efisiensi, tetapi juga tentang keadilan. Energi yang adil harus memastikan bahwa masyarakat lokal menjadi bagian dari proses pembangunan, bukan korban dari kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka.

Pembangunan energi seharusnya dilakukan dengan menghormati hak masyarakat adat, dengan konsultasi yang terbuka dan partisipatif. Proyek energi bersih tidak boleh menjadi wajah baru dari eksploitasi yang lama, hanya dibungkus dengan istilah modernisasi dan keberlanjutan. Energi yang benar-benar bersih harus lahir dari proses yang juga bersih secara sosial dan ekologis.

Pada akhirnya, problematika geothermal di Indonesia bukan semata soal eksplorasi sumber daya alam, melainkan soal bagaimana negara menempatkan manusia dan alam dalam kerangka pembangunan. Transisi energi memang penting dan mendesak, tetapi ia tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan rakyat kecil dan merusak lingkungan. Energi hijau baru akan benar-benar bermakna jika ia menghormati kehidupan dan menjaga keseimbangan bumi, bukan sebaliknya.

KLIK INI:  Demmatande, Pejuang Pemberani dari Kampung Paladan Mamasa