Dayak Iban, Penjaga Hutan Terdepan di Kapuas Hulu Kalimantan Barat

oleh -555 kali dilihat
Dayak Iban, Penjaga Hutan Terdepan Di Kapuas Hulu Kalimantan Barat

Klikhijau.com – Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik tinggal di rumah betang (panjang) yang memiliki panjang sekitar 200 meter terdiri dari 28 bilik (kamar) satu kamar bisa terdiri dari 1 sampai 3 KK.

Penghuni rumah betang ini merupakan masih satu ikatan keluarga. Rumah betang ini dibangun selama lima tahun, dari mulai tahun 1973 sampai selesai pada tahun 1978, adapun bahan material berupa kayu untuk pembuatannya diperoleh dari pohon hutan produksi. Rumah betang ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Perjalanan yang panjang harus kita tempuh untuk sampai ke rumah betang Suku Dayak Iban ini. Kalau menggunakan jalur darat, perjalanan dari Pontianak, harus ditempuh selama 18 jam atau sejauh 647 kilometer.

Waktu tempuh bisa dipersingkat dengan naik pesawat terbang dari Bandara Supadio Pontianak menuju Putusibau. Dari Putusibau, perjalanan dilanjutkan dengan bus atau kendaraan pribadi sekitar dua jam.

Sungai Utik secara administratif berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di bagian utara Sungai Utik berbatasan langsung dengan Serawak sedangkan di bagian timur berbatasan dengan propinsi Kalimantan Timur, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Sintang.

KLIK INI:  Kearifan Lokal Suku Kajang dalam Melestarikan Hutan

Sungai Utik secara adat merupakan bagian dari Ketemenggungan Jalai Lintang, sementara wilayah Ketemenggungan Jalai Lintang sendiri selain Sungai Utik meliputi Kulan, Ungak, Apan dan Sungai Tebelian. Komposisi demografi masyarakat di Sungai Utik mayoritas adalah Dayak Iban, demikian pula di Ketemenggungan Jalai Lintang.

Masyarakat Dayak Iban di Jalai Lintang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, baik lahan kering (umai pantai) ataupun lahan basah (umai payak).

Merekapun masih menjalankan ritual adat yang berkaitan dengan relasi antar manusia (kelahiran, perkawinan dan kematian) maupun relasi antara manusia dengan alam (adat ngintu menua, adat bumai, membuat rumah, tanah mali dan kampong mali).

Relasi antara manusia dengan alam menjadi penting di sini karena mendasari pandangan dan filososfi Masyarakat Dayak Iban dalam mengelola sumber daya alam dan manfaat bagi kehidupan mereka.

Menjadi menarik, di tengah maraknya eksploitasi dan konversi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan ketika ada sebuah komunitas adat, Suku Dayak Iban Sungai Utik, yang masih memegang teguh aturan adatnya dan menolak tawaran investor untuk mengeksploitasi hutan adatnya.

Hingga kini hutan mereka masih terawat baik. Penolakan untuk mengambil kayu secara besar-besaran ini didasarkan pada keyakinan bahwa adat telah mengatur bagaimana memanfaatkan kayu di hutan. Pengambilan kayu dalam jumlah masif bertentang dengan hukum adat di Sungai Utik.

Ketaatan pada adat dan norma sosial komunitas Dayak Iban Sungai Utik yang menempati kawasan hutan seluas 9.452,5 ha di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini tidak terlepas dari peran Rumah Panjang sebagai identitas dan pengikat solidaritas warga.

KLIK INI:  9 Tokoh Hutan Sosial Mendapatkan Trofi dari Pemerintah, Berikut Daftarnya

Rumah Panjang besar sekali peranannya dalam mengontrol akses dan kepemilikan lahan baik antar warga, maupun antar desa. Saat ini, dibawah pimpinan kolektif dari Tuai Adat, Kepala Kampung dan Temenggung serta dibantu para hulubalangnya, semua masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dapat ditangani dan diselesaikan di tingkat pertemuan Rumah Panjang.

Sebenarnya masyarakat adat mulai dari nenek moyang tertib menjaga hutan, sudah ada aturannya dalam adat. Masyarakat mengharapkan hutan utuh dan normal tempat mengambil kebutuhan sehari-hari.

Sayur dan ikan selalu ada dan tersedia. Masyarakat memiliki batas-batas daerah sesuai kesepakatan. Tutupan (hutan) menuju ke Taman Nasional juga diberi tanda, demikian penjelasan Pak Janggut tentang penggunaan aturan adat Suku Dayak Iban. Pak Janggut sehari-harinya adalah Tuai Adat Suku Dayak Iban di Sungai Utik.

Keberadaan hutan adat di masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merupakan hal yang sangat penting. Guna menjaga keseimbangan dan manfaat yang berkelanjutan dari relasi antara manusia dengan alam maka dalam adat Dayak Iban berkembang konsep pembagian hutan adat.

KLIK INI:  Hutan Lindung Gowa Kehilangan 55 Batang Pohon

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi tiga kawasan hutan adatnya, yaitu:

Kampong Taroh

Kawasan hutan yang tidak boleh ada kegiatan perladangan, mengambil/menebang kayu. Kampong Taroh adalah kawasan hutan lindung adat, di tujukan untuk melindungi mata air dan perkembangbiakan satwa. Tempat yang merupakan Kampong Taroh biasanya berada di hulu-hulu Sungai.

Kampong Galao

Merupakan kawasan hutan cadangan. Kegiatan di dalam kawasan ini yang diperbolehkan adalah mengambil tanaman obat, mengambil kayu api dan membuat sampan. Pemanfaatan hutan ini sangat terbatas dan diawasi sangat ketat, bahkan terdapat sanksi adat jika melakukan pelanggaran di kawasan ini.

Kampong Endor Kerja

Merupakan kawasan hutan produksi di mana hutan ini ditujukan untuk fungsi produksi dan dikelola secara adil dan berkelanjutan. Dikawasan ini boleh diambil kayunya dengan syarat diameter kayu yang di ambil di atas 30 cm.Selebihnya kawasan hutan ini juga difungsikan sebagai sumberbibit.

Sungai Utik kaya akan beragam jenis pepohonan dan satwa liar. Bermacam jenis meranti, kapur, ladan, gerunggang (bahan pembuat sirap atap), kempas, jelutung, dan beragam jenis rotan dan damar. Suku Dayak Iban memanfaatkannya untuk bahan bangunan, bahan pembuat sampan, tikar, dan kayu bakar.

KLIK INI:  Perihal Suku Boti dan Cara Hidupnya yang Otentik di Tengah Kepungan Modernitas

Jenis-jenis kayu di kawasan hutan Sungai Utik merupakan jenis komersial yang laku dijual. Kawasan hutan di Sungai Utik masih banyak dihuni oleh jenis-jenis rusa, kijang, babi hutan, kura-kura, labi-labi, macan dahan, beruang, dan ular, termasuk beragam jenis burung dan ikan.

Masalah yang paling berat adalah menjaga agar hutan tidak hilang akibat perubahan lahan untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit, demikian tutur Pak Janggut.

Setelah mendapatkan sertifikasi komunitas Dayak Iban Sungai Utik tidak lantas mengeksploitasi hutannya untuk menambah tingkat perekonomiannya. Mereka bersepakat menggunakan perencanaan pemanenan.

Ada kesepakatan untuk memperbolehkan menebang tapi ada perencanaan, berapa yang boleh diambil, kayu seperti apa yang boleh diambil. Kami juga mengumpulkan masyarakat, agar tidak bekerja mengambil kayu sebagai pencaharian utama. Tetapi mengusahakan kebun karet, coklat, dan tebu, jelas Pak Janggut.

Terpeliharanya kearifan tradisional berupa hukum adat yang menyertai keberadaan rumah panjang. Ditambahi dengan sertifikasi ekolabel LEI yang mereka peroleh melalui proses pendampingan bertahun-tahun oleh para pendamping, memancangkan sebuah kepastian dari orang Sungai Utik. Mereka tidak akan tergoda oleh investor yang menawar hutan mereka.

KLIK INI:  Wow, Ternyata Ada Pesan Lingkungan di Balik Logo PBI