Klikhijau.com – Hujan, dengan segala keindahan dan maknanya, selalu menjadi simbol alam yang memberi kehidupan. Sejak kecil, kita diajarkan untuk menghargai hujan sebagai berkat, tanda penyucian, dan harapan baru. Hujan yang turun begitu murni, begitu alami, membasahi bumi dengan ketenangan yang hampir tidak tergantikan. Namun, apakah kita pernah berhenti untuk berpikir tentang apa yang dibawa hujan selain air?
Setiap tetes yang turun dari langit kini membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kelembaban. Setiap hujan yang kita terima adalah cerminan dari apa yang telah kita lakukan terhadap bumi. Jika dulu hujan selalu membawa kesegaran dan kedamaian, kini ia juga membawa beban—jejak-jejak yang tidak terlihat oleh mata, tetapi meresap perlahan dalam kehidupan kita.
Dalam ketidaksadaran, kita mungkin tidak menyadari bahwa hujan yang kita anggap suci, kini turut menanggung kerusakan yang kita buat.
Begini kisahnya
Penelitian “Plastic Rain Is the New Acid Rain” yang diterbitkan di jurnal Science tahun 2020 menemukan bahwa lebih dari seribu ton mikroplastik turun bersama hujan setiap tahunnya di taman nasional dan daerah terpencil Amerika Serikat. Mikroplastik — partikel kecil dari pecahan plastik yang hampir tak terlihat — kini ikut membasahi bumi dalam setiap curahannya.
Setiap tetes yang jatuh bukan lagi sekadar air murni. Mungkin di dalamnya ada serat pakaian sintetis, sisa kantong plastik, atau pecahan kecil botol minuman. Tanpa disadari, kulit, tanah, dan air tanah perlahan menyerap partikel-partikel asing ini. Begitu banyak barang sehari-hari yang tidak kita sadari berakhir di mana-mana — bahkan di langit, yang seharusnya menjadi simbol kedamaian.
Tak berhenti di sana, ancaman lain hadir dalam bentuk bahan kimia abadi yang disebut PFAS. Menurut laporan “Forever Chemicals Found in Rainwater Across Great Lakes Basin” yang dipublikasikan oleh The Guardian tahun 2024, PFAS ditemukan dalam hampir setiap curahan hujan di cekungan Danau Besar, Amerika Utara. Bahan kimia ini, yang biasa digunakan pada produk tahan air dan tahan panas seperti jaket hujan dan busa pemadam kebakaran, mampu bertahan dalam tubuh manusia selama puluhan tahun.
Konsentrasi PFAS dalam air hujan bahkan dilaporkan melebihi ambang batas aman air minum menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA). Artinya, air hujan yang dulu dianggap suci dan layak diminum, kini menyimpan bahaya tersembunyi yang dapat mengendap dalam tubuh dan lingkungan. Efek dari PFAS ini bisa sangat berbahaya — dari gangguan kesehatan hingga masalah yang lebih serius dalam ekosistem.
Polusi atmosfer ini adalah ancaman sunyi. Ia tidak terlihat, tidak terdengar, tapi dampaknya menjalar luas: mencemari tanah pertanian, menyusupi sungai, meracuni kehidupan air, dan pada akhirnya kembali ke meja makan dalam wujud makanan sehari-hari. Kita tidak bisa lagi menganggap hujan sebagai pembersih atau penyegar. Kini, setiap tetes yang turun mengandung jejak-jejak yang merusak, sesuatu yang tak bisa kita abaikan begitu saja.
Studi “Microplastic Pollution in Pearl River” yang dipublikasikan di PubMed tahun 2023 menunjukkan bahwa hujan meningkatkan jumlah dan keragaman mikroplastik di air permukaan Sungai Pearl di Tiongkok. Hujan, yang dulu menjadi pembersih, kini berubah menjadi pembawa beban pencemaran. Dan setiap peristiwa hujan di tempat lain membawa dampak yang tak kalah besar.
Di balik setiap hujan yang turun, tersimpan kenyataan bahwa langit yang dulunya suci kini terluka. Bahwa setiap tindakan kecil — membuang sampah sembarangan, memilih produk sekali pakai, mengabaikan polusi — meninggalkan jejak yang akhirnya jatuh kembali dalam bentuk tetesan air. Kita semua berperan dalam perjalanan pencemaran ini, tanpa sadar menciptakan dunia yang lebih penuh dengan sampah plastik dan bahan kimia.
Namun, ada harapan. Hujan tetap mengingatkan kita bahwa segala sesuatu bersifat siklis. Apa yang dilepaskan ke udara, suatu saat akan kembali. Jika kita mulai mengambil langkah kecil dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih bahan yang ramah lingkungan, dan mendukung kebijakan yang lebih baik untuk mengendalikan polusi, maka mungkin di masa depan kita akan melihat hujan sebagai teman, bukan ancaman.
Hujan mengajarkan banyak hal: tentang pembersihan, kesabaran, dan siklus kehidupan. Kini, ia juga mengajarkan tentang tanggung jawab. Setiap tetes yang jatuh adalah cermin atas perlakuan manusia terhadap bumi. Dalam setiap tetes hujan, kita bisa melihat refleksi diri kita — apakah kita siap untuk bertanggung jawab terhadap alam yang memberi kita segala sesuatu?
Mungkin saat wajah dibasuh hujan berikutnya, ada jeda sejenak. Kesadaran yang menyelinap pelan bahwa yang membasahi bukan lagi hanya air, tapi juga semua dosa kecil terhadap alam yang selama ini dianggap remeh. Tetesan itu adalah pesan bahwa kita, manusia, harus mulai memperbaiki hubungan kita dengan bumi.
Dan dari kesadaran itulah, langkah perubahan bisa dimulai. Bukan dengan meninggalkan hujan, melainkan dengan menjaga bumi yang membuat hujan tetap layak untuk dinikmati.