- Perihal Buncis dan Pengalaman Pertama Memanennya - 28/03/2024
- Bongo’, Meski Dibenci Tetap Memberi Banyak Manfaat - 26/03/2024
- Mikroplastik di Dada Ibu - 10/03/2024
Klikhijau.com – Mata tuanya berbinar saat saya mendekatinya. Di hadapannya ada dua wadah yang berisi kue tradisional. Perempaun tua itu adalah salah satu penjual di kegiatan Pasar Pangan Lokal (Pangkal)
Kegiatan itu dilaksanakan Komunitas Earth Hour (EH) Makassar bekerja sama dengan Pangan Bijak Nusantara.
Kegiatannya berlangsung di Rumah Hijau Denassa (RHD) Jl Borongtala, Kelurahan Tamallayang, Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu, 24 Oktober 2020.
Tempat jualan yang ditempati perempuan tua itu paling ujung, dekat dengan rumah panggung yang berdiri artistik di RHD.
Agar nuansa pasar terasa pada kegiatan pasar Pangkal, tempat jualan dibuat berjejer rapi dari bambu dan beratapkan rumbia. Mirip dengan pasar tradisional yang berada di kampung.
Pada salah tempat jualan itulah, perempuan tua itu—yang bernama Daeng Rimang menjual kue tradisional buatannya.
Memang pada gelaran pasar Pangkal, barang yang dijual atau dipamerkan adalah pangan lokal dan kue tradisonal.
“Pasar pangkal ini hanya pangan lokal yang akan dijajakan. Uang atau alat jual beli yang digunakan di pasar ini pun menggunakan daun lontar yang merupakan salah satu item Makassar,” jelas ujar Koordinator EH Makassar Nanda Irma Aulia Desi Pratiwi .
Daeng Rimang adalah salah satu perempuan yang masih menjaga kue tradisional agar tidak digerus zaman. Ia memanfaatkan pangan lokal sebagai bahan pada kuenya agar tetap lestari.
“Sehari-hari saya jualan di pasar,” katanya. Ia tidak menyebut pasar yang mana, namun melihat lokasinya. Sudah tertebak jika ia berjualan di pasar Bontonompo yang lokasinya tak jauh RHD.
Sayangnya, kue yang dijajakan Daeng Rimang pada hari itu terbatas—hanya dua jenis saja. Padahal menurut pengakuannya, biasanya ia menjual hingga lima jenis kue tradisional.
“Ini toli-toli, dan ini taripang,” jelasnya begitu saya mendekat.
Perihal toli-toli dan taripang
Kue atau penganan toli-toli adalah makan khas Sulawesi Selatan. Toli dalam bahasa Makassar berarti telinga. Jadi, kue toli-toli bisa diartikan sebagai kue telinga. Itu karena bentuknya yang mirip telinga.
Bahannya sederhana, cukup 2 bag tepung ketan, 1 bagian tepung beras, sedikit garam, gula merah dimasak dengan air, wijen, dan minyak goring untuk menggoreng toli-toli yang sudah dibuat.
Lalu bagaimana cara membuatnya? Caranya campur tepung beras ketan, tepung beras, dan garam. Aduklah hingga rata!
Larutkan gula merah, setelah larut tuangkan ke bahan yang telah diaduk rata tadi. Jangan langsung tuang gulanya, tambahkan sedikit-sedikit saja. Tujuannya agar adonan tidak terlalu cair.
Setelah itu diamkan sejenak sebelum membentuknya. Biasanya digulung-gulung kecil lalu dibentuk seperti telinga atau nomor delapan. Setelah itu taburi wijen lalu goreng hingga matang.
Sedangkan taripang, juga merupakan penganan khas Sulsel. Kue ini terbuat dari tepung ketan dibalut dengan gula merah yang dicairkan.
Bahannya juga tidak ribet, hanya tepung beras ketan secukupnya, gula merah, dan kelapa kelapa parut, garam secukupnya, dan tentu saja minyak goring untuk menggorengnya.
Cara membuatnya pun terbilang mudah, cukup campurkan tepung ketan putih, kelapa parut, garam, dan air.
Campur hingga rata, pastikan adonan tidak lengket. Setelah itu bentuklah menjadi bulat pipih. Setelah terbentuk, goreng adonan hingga berwarna kecoklatan. Langkah selanjutnya lumuri dengan gula aren yang telah dicairkan.
EH dan perubahan iklim
Oya, kegiatan pasar Pangkal yang digelar Eart Hour Makassar bertujuan kita lebih peduli pada pangan lokal.
“Insya Allah kegiatan ini akan berkelanjutan. Ini bukti bahwa kita mencintai pangan lokal,” ujar Nanda saat memandu acara.
Kegiatan itu berlangsung satu hari yang dihadiri beberpa komunitas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Dipilihnya rumah hijau denassa karena RHD merupakan tempat untuk konservasi dan fokus pada pengembangan pangan lokal dan menjaga lingkungan.
EH sendiri merupakan salah satu gerakan yang diinisiasi oleh WWF (World Wide Fund for Nature) yang berfokus pada kampanye global untuk melawan perubahan iklim.
Kita semu tahu, perubahan iklim bisa berdampak ke berbagai lini kehidupan, termasuk ke pangan lokal dan mata pencaharian orang-orang yang menggantungkan hidupnya mengolah pangan lokal seperti Daeng Rimang.