Cerita dari Kampung Apung dan Lingkungannya yang Mencemaskan

oleh -591 kali dilihat
Cerita dari Kampung Apung, Otentik Namun Dihinggapi Segudang Masalah Lingkungan
Cerita dari Kampung Apung/Foto-tirto.id

Klikhijau.com – Bukan sebuah rahasia lagi jika keberadaan Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia. Ada 17.504 pulau yang masuk dalam kawasan kedaulatan Negara.

Di Sulawesi Tenggara terdapat 651 pulau. Dari jumlah tersebut 361 bernama dan 290 yang belum bernama.

Provinsi tersebut memiliki beberapa desa atau kampung yang unik diantaranya adalah kampung apung. Kampung apung merupakan suatu perkampungan yang terletak di lautan dan tidak memiliki daratan.

Kampung apung bernama Pulau Bangko

Kampung apung tersebut bernama Pulau Bangko. Kampung tersebut terletak di arah barat pulau Muna. Secara administrasi kewilayaan kampung apung tersebut merupakan bagian wilayah administrasi Kecamatan Maginti.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Muna Barat, Pulau Bangko memiliki jumlah penduduk sebesar 1.557 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di antara desa-desa yang ada di Kecamatan Maginti.

Menurut tokoh masyarakat Pulau Bangko, desa tersebut telah ada sejak abad 16-17. Pulau itu didiami oleh suku Bajo yang berasal dari Gowa Sulawesi Selatan.

Pulau ini juga merupakan perkampungan suku Bajo tertua di pulau Muna sebelum adanya kempung Bajo yang lain. Nama Bangko sendiri diambil dari bahasa Bajo yang berarti Bakau (Mangrove).

KLIK INI:  Cerita "Manusia Rantai" di Kota Tambang yang Menyimpan Penderitaan

Penamaan ini dipilih karena sisi utara dan selatan pulau ini dikelilingi oleh hutan mangrove. Presentasi mangrove disana pada saat itu mencapai 95% namun saat ini mulai berkurang.

Semua penduduk Pulau Bangko memiliki mata pencarian sebagai nelayan. Adapun akses menuju kampung ini hanya bisa menggunakan kapal sampan yang berukuran besar ataupun kecil.

Kampung ini bisa diakses melalui semua desa yang berada disekitar Pulau Bangko, seperti desa Kembar Maminasa, Pajala, Barakkah dan sebagainya.

Desa ini memiliki beragam keunikan dari kebudayaan, pendidikan, agama dan latar belakang lainnya. Dari semua itu, ada fakta yang sangat memilukan dari segi lingkungan dan kebiasaan penduduknya.

Salah satunya ialah kurangnya atau bahkan tidak adanya sanitasi lingkungan di sana. Dari 265 rumah tangga yang ada hanya sebagian kecil yang memiliki sanitasi lingkungan.

Ada beberapa masalah yang ada di sana yang berkaitan dengan lingkungan. Seperti tidak adanya toilet di hampir semua rumah warga. Umumnya masyarakatnya membuang kotoran tinja dan air seni langsung ke laut.

Hal ini sangat membahayakan kesehatan masyarakatnya. Pasalnya hampir setiap hari anak kecil dan orang dewasa disana mandi air laut jika air laut dalam keadaan pasang. Ini sangat berbahaya dan sangat mengancam kesehatan mereka.

KLIK INI:  Cerita Miris dari Kalimantan, Pesut Mahakam Terdesak ke Tepi Kepunahan

Ada beberapa bahaya yang ditimbulkan akibat aktivitas dan kebiasaan yang buruk ini. Seperti artikel yang dipublis oleh Kompas 31 Mei 2012 menyebutkan bahaya yang dapat diakibatkan antara lain:

Mikroba

Tinja manusia mengandung puluhan miliar mikroba, termasuk bakteri koli-tinja. Sebagian diantaranya tergolong sebagai mikroba patogen, seperti bakteri Salmonela typhi penyebab demam tifus, bakteri Vibrio cholerae penyebab kolera, virus penyebab hepatitis A, dan virus penyebab polio.

Materi Organik

Kotoran manusia (tinja) merupakan sisi dan ampas makanan yang tidak tercerna. Ia dapat berbentuk karbohidrat, dapat pula protein, enzim, lemak, mikroba dan sel-sel mati.

Satu liter tinja mengandung materi organik yang setara dengan 200-300 mg BODS (kandungan bahan organik).

Telur Cacing

Seseorang yang cacingan akan mengeluarkan tinja yang mengandung telur-telur cacing. Beragam cacing dapat dijumpai di perut kita. Sebut saja, cacing cambuk, cacing gelang, cacing tambang, dan keremi.

Satu gram tinja berisi ribuan telur cacing yang siap berkembang biak di perut orang lain. Anak cacingan adalah kejadian yang biasa di Indonesia.

Penyakit ini kebanyakan diakibatkan cacing cambuk dan cacing gelang. Prevalensinya bisa mencapai 70 persen dari balita.

KLIK INI:  Cerita Sebatang Pohon Kelor di Muna yang Berdaun Putih Susu
Nutrien

Umumnya merupakan senyawa nitrogen (N) dan senyawa fosfor (P) yang dibawa sisa-sisa protein dan sel-sel mati. Nitrogen keluar dalam bentuk senyawa amonium, sedangkan fosfor dalam bentuk fosfat.

Satu liter tinja manusia mengandung amonium sekitar 25 gram dan fosfat seberat 30 mg. Senyawa nutrien memacu pertumbuhan ganggang (algae). Akibatnya, warna air menjadi hijau. Ganggang menghabiskan oksigen dalam air sehingga ikan dan hewan lainnya mati.

Di sisi lain, tidak ada tempat penampungan sampah di setiap rumah. Sehingga masyarakat sesuka hati membuang sampah dan kotoran rumah tangga ke laut. Akibatnya kejahatan terhadap lingkungan tidak terhindarkan.

Memang secara tidak langsung sampah-sampah yang mereka buang tidak mengganggu lingkungan sekitar mereka. Sebab jika kondisi air laut pasang sampah-sampah tersebut ikut terbawa arus air laut.

Dan ini menjadi masalah bagi daerah lain sebab kawasan sekitar pantai akan dipenuhi sampah yang dibawah oleh air laut.

Ini penyebabnya

Ada beberapa faktor penyebab dari semua aktivitas yang memprihatinkan di Pulau Bangko ini. Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat setempat dalam hal hidup sehat.

Hal ini disebabkan karena minimnya pemahaman dan rendahnya kualitas pendidikan disana sehingga aktivitas ini terus berulang sampai saat ini.

Memang secara statistik, jumlah murid sekolah dasar (SD) dan sekolah menegah pertama (SMP) pulau Bangko menempati urutan kedua dari semua desa yang ada. Dengan jumlah 297 siswa SD dan 77 SMP, (BPS, Muna Barat 2018).

Namun dari jumlah yang ada, sangat sedikit pula yang melanjutkan ke jenjang SMA dan Universitas. Kedua, tidak adanya penyuluhan dan arahan dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya.

Sehingga masyarakat tidak pernah mengetahui dan memahami pentingnya hidup dan menjaga lingkungan.

Ketiga, tidak adanya sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah. Sehingga asumsi mereka bahwasanya laut adalah tempat sampah dan kotoran.

KLIK INI:  Gunung Sampah di India Jadi Saingan Baru Taj Mahal

Keempat, masyarakat bersikap apatis terhadap keadaan dan lingkungan mereka. Mereka tidak pernah memikirkan bahaya dari tindakan mereka.

Yang ada dalam benak mereka ialah terpenuhinya kebutuhan mereka, makan, melaut sehingga urusan lingkungan bukan tanggung jawab mereka.

Terlebih lagi ketersediaan air bersih di wilayah ini juga sangat terbatas. Permasalahan ini menjadi salah satu faktor yang sering melanda mereka semenjak keberadaan mereka di pulau tersebut.

Mereka harus naik ke daratan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih dengan membawa sejumlah wadah untuk penampungan air bersih.

Hal ini lakukan dengan rentan waktu satu atau dua kali dalam satu minggu untuk mengambil air. Sehingga tidak jarang dari mereka harus mandi menggunakan air asin sebab keterbatasannya air tawar.

Dari semua permasalahan yang ada ini, seharusnya pemerintah turun tangan mengatasi permasalahan yang ada. Mereka memiliki kewajiban yang besar untuk membina masyarakat Pulau Bangko.

Artinya kontribusi pemerintah sangat berperan besar dengan menghadirkan sarana dan prasarana pendukung untuk menjawab masalah-masalah tersebut.

Selebihnya, tentu kembali pada perilaku warga tentang kebersihan lingkungan.

KLIK INI:  Kecemasan di Negeri tanpa Narasi Sadar Lingkungan