BMKG Tegaskan 2 Strategi Atasi Krisis Air dan Ketahanan Pangan Indonesia

oleh -23 kali dilihat
Jawa Timur Menghadapi Krisis Air Bersih
Ilustrasi krisis air - Foto: Unsplash

Klikhijau.com – Dampak perubahan iklim liar. Merasuki semua bidang kehidupan. Parahnya, karena juga menyerang yang paling urgen bagi manusia—pangan dan air.

Perubahan iklim memang tidak semakin melembut, tetapi  semakin ekstrem. Terjadi di seluruh dunia, Indonesia termasuk di dalamnya.

Di Indonesia dampaknya cukup ngeri, sebab memicu krisis air dan ketahanan pangan. Untuk mengatasinya, para ahli dan pejabat pemerintah menegaskan pentingnya strategi baru dalam mengelola sumber daya air.

Hal tersebut terungkap dalam Talkshow Kongres Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI) dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia (GMHI) 2025.

KLIK INI:  Karang Taruna Karang Anyar Jakpus Gelar Gerakan Pungut Sampah di HPSN 2021

Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, saat ini, Indonesia berada di titik kritis dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Perubahan suhu yang semakin tinggi dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, mempengaruhi berbagai sektor, termasuk ketahanan air dan pangan.

“Kenaikan suhu rata-rata yang tercatat pada 2024 sebesar 27,52°C, dengan anomali suhu tahunan mencapai +0,81°C dibandingkan periode normal, menunjukkan adanya tren pemanasan global yang mengkhawatirkan,” kata Dwikorita di Jakarta, Rabu, 7 Mei 2025 kemarin.

Dwikorita juga menerangkan bahwa merujuk pada data yang dimiliki BMKG, menunjukkan suhu udara di Indonesia terus meningkat, dengan sebagian besar wilayah negara ini mengalami suhu yang hampir selalu berada di atas persentil ke-95 sepanjang tahun.

KLIK INI:  WALHI Menilai Penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Sawu Inkonstitusional

Tren ini berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim, yang akan semakin terlihat dalam bentuk cuaca ekstrem, baik berupa banjir maupun kekeringan.

“Masalah besar yang kita hadapi adalah ketimpangan antara pasokan air yang berlimpah saat musim hujan, namun langka ketika dibutuhkan di musim kemarau,” tambahnya.

Dua solusi utama

Untuk menghadapi proyeksi tersebut, menurutnya terdapat dua solusi utama sebagai respons terhadap krisis air yang semakin memburuk yaitu restorasi sungai dan pemanenan air hujan.

Kedua solusi ini, tambahnya, harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan berbasis pada data ilmiah yang akurat. Dwikorita juga mengingatkan bahwa tanpa adanya upaya yang serius dan terencana dalam mengelola sumber daya air, dampak perubahan iklim akan semakin dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang sudah mengalami kekurangan air bersih.

KLIK INI:  Krisis Air Bersih: Ancaman Sunyi yang Mengintai Masa Depan Indonesia

“Restorasi sungai dapat memperbaiki ekosistem sungai yang rusak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas sungai untuk menampung dan mengalirkan air dengan lebih baik. Sementara, pemanenan air hujan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan. Dengan pemanenan air hujan, kita dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya air permukaan yang semakin terbatas akibat perubahan iklim,” imbuhnya.

Dwikorita menyatakan, bahwa BMKG berperan penting dalam menyediakan informasi iklim yang akurat serta prediksi curah hujan untuk mendukung perencanaan restorasi sungai dan pemanenan air hujan yang lebih efektif.

Menurutnya, BMKG terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta, untuk menyediakan data yang dapat digunakan dalam merencanakan dan melaksanakan program-program ketahanan air.

Selain itu, Dwikorita menjelaskan bahwa BMKG juga aktif menyediakan sistem peringatan dini terkait perubahan iklim ekstrem, seperti kekeringan dan curah hujan yang tinggi. Dengan informasi yang tepat waktu, masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat lebih siap menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang berpotensi merusak infrastruktur, pertanian, dan ekosistem sungai.

KLIK INI:  Indikator Kerentanan Perubahan Iklim Dikembangkan di Sulawesi Selatan

“Salah satu inisiatif penting yang dibahas dalam kongres ini adalah pengembangan Sistem Informasi Hidrologi dan Hidroklimatologi untuk Wilayah Sungai (SIH3), yang dirancang untuk memberikan data dan informasi yang lebih luas mengenai kondisi iklim dan hidrologi di seluruh wilayah sungai Indonesia. Melalui SIH3, kami dapat memberikan peringatan dini terkait potensi kekeringan, serta memberikan informasi terkait waktu yang tepat untuk melakukan restorasi sungai dan panen air hujan,” ujarnya.

Dwikorita juga mengingatkan bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah jangka pendek, melainkan tantangan besar yang harus dihadapi dengan pendekatan jangka panjang. Ia menegaskan bahwa diperlukan strategi pengelolaan air yang lebih cerdas dan adaptif, yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Menurutnya, GRSI dan GPAHI adalah dua langkah konkret yang harus segera diterapkan untuk memastikan ketersediaan air di masa depan, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk mendukung ketahanan pangan. (*)

KLIK INI:  Grup BUMI Rilis Laporan Berkelanjutan 2020, Ini Isinya!