Banjir, Potret Buruk Manajemen Tata Kelola Lingkungan

oleh -318 kali dilihat

Sulsel, Klikhijau.com – Banjir di awal tahun 2019 yang melanda beberapa daerah di Sulawesi Selatan cukup mengagetkan.

Tingginya intensitas hujan disertai angin kencang mengakibatkan bencana banjir dan longsor menerjang Provinsi Sulawesi Selatan di 9 Kabupaten/Kota yakni, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros, Pangkep, Barru, Wajo dan Soppeng, sejak Senin malam, 21 Januari 2019.

Hasil pemantauan tim Desk Disaster Walhi Sulawesi Selatan menyebutkan banjir yang terparah terjadi di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Jeneponto dan Maros. Ratusan rumah terendam banjir sehingga sebagian besar warga mulai mengungsi.

Di Kabupaten Gowa, ketinggian air di Bendungan Bili-Bili hampir sampai pada ambang batas, yakni 103 meter sehingga pintu air harus dibuka dan menyebabkan Sungai Jeneberang meluap dan merembes masuk ke pemukiman warga.

KLIK INI: FOTO: Tragedi Badai dan Kepungan Sampah di Selayar
KLIK INI: Walhi Sulsel: Pemerintah Kota Makassar Gagal Atasi Banjir

Sejauh ini yang paling parah terkena dampak banjir dan tanah longsor adalah Kabupaten Gowa. Informasi sementara oleh data Walhi Sulsel, ada 7 orang korban meninggal dunia, sekitar 9 kecamatan terendam banjir.

“Yang terparah di Kecamatan Pallangga hampir sebagian besar rumah warga terendam banjir. Tidak hanya itu, bencana tanah longsor juga terjadi di sepanjang jalan poros Malino Kecamatan Tinggimoncong dan Kecamatan Parigi,” ungkap Muh. Akram Sulaiman, Kepala Unit Desk Disaster Walhi Sulsel.

Muh. Akram Sulaiman menilai bahwa bencana banjir yang terjadi hampir di sebagian besar kabupaten kota di Sulawesi Selatan merupakan potret buruk manajemen dan tata kelola lingkungan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), sistem drainase perkotaan yang buruk dan semakin berkurangnya daerah resapan air.

Dari analisis Walhi Sulawesi Selatan, bencana banjir dan longsor yang terjadi ini adalah akibat dari buruknya pengelolaan sumber daya alam di daerah hulu dan hilir.

Di daerah dataran tinggi misalnya, banyak alih fungsi hutan sehingga erosi dan sedimentasi meningkat.

KLIK INI: Banjir Menjalar ke Bantimurung
KLIK INI: Kisah Pilu dari Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa

Selain itu, di sepanjang DAS Jeneberang juga banyak tambang pasir dan batu yang mengakibatkan sedimentasi meningkat sehingga terjadi pendangkalan sungai dan kemungkinan menumpuk di Bendungan Bili-Bili.

Laju air dari dataran tinggi semakin cepat bercampur material ini kemudian akhirnya sampai di dataran rendah, kawasan perkotaan yang kekurangan daerah resapan dan sistem drainase yang buruk.

Oleh sebab itu, Walhi meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus belajar dari bencana banjir dan longsor yang terjadi saat ini. Pemerintah Provinsi harus menjadikannya bahan evaluasi dalam tata kelola sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup dari hulu ke hilir.

“Bencana banjir dan tanah longsor yang menimbulkan kerugian ekonomi dan jatuhnya korban jiwa terjadi hampir setiap tahun terjadi di Sulawesi Selatan. Sehingga tentu memerlukan langkah antisipatif yang komprehensif dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan melakukan upaya-upaya serius dalam meminimalisir risiko bencana,” jelas Akram.

Ia menambahkan, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dari hulu ke hilir.

Termasuk menghentikan segala bentuk kegiatan yang merusak lingkungan, pemulihan daerah resapan air dan daerah aliran sungai. (kh)