Hujan lebat dengan insentias tinggi menyebabkan beberapa daerah di Sulawesi Selatan terendam Banjir. Di Makassar dan Maros, bencana banjir telah terjadi sejak selasa, 11 Februari 2025 menyebabkan ribuan warga mengungsi. Bencana ini telah terjadi setidaknya 2 kali dalam 3 bulan terakhir. Menyikapi bencana ini, Walhi Sulsel menyoroti kurangnya mitigasi pemerintah dalam penanganan banjir, khususnya pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan pembukaan kawasan hutan yang kian massif beberapa tahun terakhir.
Klikhijau.com – Banjir merendam beberapa wilayah di Sulawesi Selatan sejak Selasa, 11 Februari hingga pagi tadi. Di Makassar banjir merendam 580 unit rumah di empat kecamatan dan 2.164 orang mengungsi, sedang sebanyak 12 kecamatan terendam banjir di Kabupaten Maros. Ketinggian banjir di beberapa titik mencapai 50 cm hingga 3 meter. Menyebabkan lumpuhnya jalan poros provinsi dan kerugian material yang diderita korban bencana.
Bencana banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan yang menyebabkan naiknya permukaan air sungai di dua DAS yaitu Maros dan Tallo. Selain itu terjadi kenaikan pasang air laut di pesisir Makassar menahan arus air di hilir.
Bencana banjir ini telah terjadi setidaknya 2 kali dalam 3 bulan terakhir. Bahkan di daerah Antang sepanjang 2025 terdampak 3 kali banjir dalam kurun waktu satu bulan lebih.
Banjir juga melanda daerah lainnya di Wajo. Intensitas hujan tinggi membuat meluapnya sungai Walennae menyebabkan banjir dan jebolnya tanggul di Desa Ujung Lero, Kecamatan Sabbangparu. Sedikitnya 8 desa di Kecamatan Tanasitolo, Tempe, dan Sabbangparu terdampak. Satu orang dikabarkan hanyut terbawa air sungai.
Massifnya bencana ekologi selama beberapa waktu terakhir tentu tak bisa dilepaskan dari kerusakan di daerah hulu sungai. Data dari Walhi Sulsel menujukkan adanya kerusakan yang sporadis di hulu sungai seperti maraknya pertambangan di wilayah hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon, dan pembangunan di wilayah hulu sungai sehingga menganggu kestabilan daerah aliran sungai.
Masalah lainnya adalah wilayah resapan air yang semakin berkurang, drainase yang buruk, dan tutupan hutan di dua DAS ini semakin berkurang. Bahkan DAS Maros menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir luas hutannya mengalami penurunan sebesar 1.057,90 hektar.
Menyikapi maraknya kerusakan ekologis ditengah krisis iklim, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dan mengambil langkah yang mendahulukan kepentingan alam. Lebih lanjut dijelaskan Slamet, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan,
“Saya kira dengan kerentanan yang semakin tinggi dan diperparah dengan ancaman krisis iklim. Maka sudah seharusnya pemerintah memikirkan ulang serta merumuskan konsep pencegahan dan penanganan yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif melainkan sudah harus berbasis bentang alam. Artinya, tiap daerah sudah tidak bisa lagi hanya bertanggungjawab dengan daerahnya masing-masing, melainkan sudah harus melihat permasalahan secara lebih holistik dan mengajak daerah lain untuk duduk dan berdiskusi bersama.” Ujar Slamet.
Slamet juga menekankan perlunya pemerintah menindak tegas aktivtas tambang dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Hal ini paling tidak akan mengurangi kerusakan lingkungan dan bencana ekologis yang selalu siap mengancam kehidupan masyarakat sekitar.
“Aktivitas ekstraktif seperti pertambangan dan pembangunan infrastruktur yang mengorbankan kondisi lingkungan sudah seharusnya ditindak secara tegas. Jika tidak, maka kejadian bencana di provinsi ini akan semakin meningkat tiap tahunnya dan yang menjadi korban dari ini semua tentunya adalah masyarakat Sulawesi Selatan,” tegas Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan ini.