- Pantai Matamu - 04/06/2023
- Dodol, Baeti, dan Rumah Berperabot Warna Pink - 02/06/2023
- Hujan Hijau - 21/05/2023
Klikhijau.com – Matamu terlihat berbinar. Kamu turun dari motor. Tatapanmu menatap girang gerbang masuk Kawasan Adat Ammatoa Kajang.
Wajar saja demikian, sebab keinginanmu terwujud setelah berkali-kali tertunda untuk mengunjungi kawasan tersebut. Kawasan dengan yang berciri khas hitam itu di selatan Makassar.
Sayang, saat kita tiba, hujan mengguyur Kajang siang itu, Sabtu, 8 Juni 2019. Perjalanan harus tertunda beberapa waktu untuk melangkahkan kaki melewati gerbang—memasuki Kawasan Adat Ammatoa, tempat bemukim orang-orang yang mencintai alam lebih dari apa pun.
Kita menunggu hujan mereda agar tak kuyup saat memasuki kawasan adat itu, juga menunggu seorang lelaki yang bernama Rusli. Lelaki itu tahu banyak tentang Kajang Dalam, ia berasal dari dalam kawasan. Lelaki itulah yang akan menemani kita.
Ketika Rusli tiba di gerbang, hujan kian menderas. Ada dua pilihan yang terpampang di depan mata saat itu—menunggu hujan reda atau menerabas hujan agar bisa memasuki Kawasan Adat Ammatoa.
Dan pilihannya adalah menerabas hujan. Tapi, pengunjung tak dibolehkan menggunakan payung—boleh asal payungnya berasal dari alam, daun pisang, daun talas atau semacamnya. Meski ada pula pengunjug yang menggunakan kantong plastik warna hitam untuk menutupi kepalanya.
Jalan setelah melewati gerbang harus ditapaki tanpa menggunakan alas kaki. Kamu terlihat bersemangat menapaki jalan menggunakan payung daun talas yang di pungut di jalan. Orang membuangnya begitu saja usai menggunakannya.
Sejujurnya, saya tak lagi terlalu kaget hari itu, sebab itu kedua kalinya saya menyusuri kawasan tersebut. Kawasan yang cukup asri dan ramah lingkungan.
Dulu ketika masuk, saya lebih banyak memperhatikan sekelilingnya, hutan, rumah dan lainnya. Saya tak memperhatikan sampah plastik yang terdapat di jalan. ,
Ketika masuk kedua kalinya “menemanimu” entah bagaimana perhatian saya lebih mengarah ke sampah plasti yang terdapat di dalam kawasan tersebut. Saya cukup kaget sebab sangat mudah menemukan sampah plastik di jalan.
Entah bagaimana bisa sampah plastik yang didominasi pembungkus kerupuk, mie instan dan ada beberapa gelas kemasan air mineral itu sampai ke tempat itu—tempat yang menjunjung tinggi hal-hal yang berbau tradisional.
Sementara yang saya tahu sampah plastik pembungkus kerupuk dan semacamnya adalah produk “modern” yang harusnya tak ada di dalam Kawasan Adat Ammatoa yang sangat mencintai alam. Sedangkan sampah plastik adalah ancaman yang cukup mengerikan bagi alam itu sendiri.
Keresahan itu tak saya ungkapkan. Saya memendamnya saja. Oya, para pembaca, kisah ini bukan fiksi. Jika ada di antara pembaca yang berkunjung ke Kawasan Adat Ammatoa yang terletak di Kecamatan Kajang, Bulukumba. Tentu akan mudah menemukan sampah plastik di sana.
Namun, akan sangat bijak, sebelum masuk membaca dulu aturan yang terpasang di gerbang. Khususnya pada poin keempat yang berbunyi “Tetap jaga kebersihan dan jangan merusak alam.”