Bahaya Laten Penggunaan Styrofoam bagi Kesehatan dan Lingkungan?

oleh -983 kali dilihat
sampah styrofoam
Tumpukan sampah styrofoam-Foto/Rimbakita
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Penggunaan styrofoam sebagai pembungkus makanan rasanya semakin massif. Apakah ini berbahaya atau tidak pada kesehatan manusia?

Perihal ini memang sangat kontroversial. Ada yang mengatakan, styrofoam menjadi pemicu kangker dan penyakit berbahaya lainnya. Alasannya, benda satu ini memiliki zat karsinogenik yang dapat berpindah pada makanan. Akan tetapi, ada pula ilmuan dan peneliti yang mengungkap bahwa styrofoam tidaklah berbahaya.

Kontroversi bahaya styrofoam

Bahaya Styrofoam dibahas Theguardian.com (Dikutip Kumparan, 2017), Styrofoam mengandung sebuah zat bernama polystyrene. Bila mengonsumsi makanan atau minuman dari wadah Styrofoam, maka makanan tersebut berpotensi tercemar polystyrene.

Penyebanya adalah bahan Styrofoam akan meleleh dan melebur bersama makanan. Sedangkan, kandungan polystyrene tersebut dikenal sebagai karsinogen pada manusia, atau zat yang dapat menyebabkan kanker. Itulah mengapa bahaya styrofoam sangat serius bagi kesehatan.

Pendapat yang lain, Dilansir CNN Indonesia (2018), Ahmad Zainal Abidin, seorang dosen dari Institute Teknologi Bandung (ITB) pernah mengatakan, styrofoam yang beredar di pasaran tidak berbahaya.

Menurutnya, nilai aspuan zat styrena yang berpindah dari styrofoam ke tubuh adalah 0,46-12 Miligram per orang per hari. Jumlah ini kata Ahmad sangat rendah. Bahkan, jauh di bawah batas aman yang ditetapkan.

KLIK INI:  Kaburnya Pesona Beberapa Pantai di Sulawesi Barat

Ahmad berpendapat stirena dalam kadar tersebut setara dengan kandungan yang terdapat di dalam kayu manis, daging sapi, biji kopi, stroberi, kacang, dan tepung yang lazim dan aman dikonsumsi manusia sehari-hari.

Walau begitu, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebelumnya telah melarang penggunaan styrofoam karena mengandung benzena, yang merupakan satu dari empat komponen toksin pemicu kanker selain toluena, etilbenzena, dan xilena.

Di sejumlah Negara seperti di Jepang penggunaan Styrofoam memang dilarang keras karena alasan kesehatan manusia. Terlepas dari masalah kesehatan yang mengancam dan kontroversi di baliknya, Styrofoam kini mengancam lautan dan ekosistem di dalamnya. Yang pada ujungnya juga akan mengancam kesehatan manusia melalui rantai makanan.

Penggunaan styrofoam

Faktanya, penggunaan styrofoam kini semakin massif di Indonesia. Padahal, pada mulanya, benda satu ini adalah solusi karena lebih ekonomis, lebih efisien dan praktis. Namun, karena harganya yang murah itulah memicu laju produksi dan penggunannya.

Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018 di 18 kota di Indonesia menemukan, terdapat sekitar 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut Indonesia. Sungguh mencemaskan, ternyata jenis sampah yang paling dominan adalah styrofoam.

KLIK INI:  Hikayat Tentang Pohon yang Dipaku sebagai Bak Sampah

Angka ini berpotensi bertambah di tahun-tahun mendatang. Terlebih, Pemerintah belum membuat semacam kebijakan khusus yang mendorong pembatasan pemakaian styrofoam.

Faktanya, jenis sampah satu ini tergolong paling bebal karena baru bisa terurai atau hancur setelah 50 tahun. Bahkan, bisa lebih lama lagi mencapai jutaan tahun, hingga ada yang menyebutnya sampah abadi.

Tidak sampai di situ, styrofoam tidak seperti kemasan plastik sekali pakai lainnya yang bisa dijual kembali atau didaur ulang. Temuan daur ulang benda menyebalkan satu ini masih terbatas.

Pada saat yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga belum menetapkan semacam formula yang tepat untuk pemusnahan styrofoam.

KLHK pernah mengusulkan agar sampah satu ini harus dibakar menggunakan insinerator dengan teknologi standar (sebagaimana rekomendasi LIPI), sehingga emisinya tidak merusak lingkungan.

Namun, hingga saat ini penangan serius belum juga dilakukan. Sementara masyarakat umumnya mengatasi sampah styrofoam dengan tiga cara: membakar, membuang ke TPA atau membuang ke sungai.

Walhasil, benda ini acapkali dijumpai bergentayangan di lautan dan di pantai. Persis seperti data World Fund for Nature (WWF) yang mencatat bahwa dunia saat ini memproduksi hampir 300 juta ton plastik setiap tahun. Sebagian besar diantaranya tidak didaur ulang dan kebanyakan diantaranya di buang ke laut.

Styrofoam yang memang mengapung saat di air dan mudah beterbangan saat di darat menggerogoti lingkungan. Styrofoam kini menjelma sebagai musuh yang nyata bagi manusia dan lingkungan.

Lalu, bagaimana solusinya?

Jumlahnya berpotensi semakin sulit dibendung dalam lima atau sepuluh tahun ke depan—bila tak ada policy yang lebih tegas dalam penanganannya.

Sembari terus mendorong suatu kebijakan yang serius misal pembatasan atau pelarangan sekaligus. Atau formula pemusnahan sampah styrofoam yang aman bagi lingkungan. Kita berharap pada kontribusi bank sampah (walau belum semua bank sampah dapat membeli styrofoam). Sisanya, kita juga berharap akan semakin bertumbuh pegiat daur ulang berbahan styrofoam.

Selebihnya ada pada diri masing-masing yakni bagaimana bertanggungjawab pada sampah yang dihasilkan setiap harinya.

KLIK INI:  Sungai di Indonesia Banjir Mikroplastik, Dampak Tata Kelola Sampah Buruk?