Ayah dan Dapur Ibu

oleh -792 kali dilihat
Ayah dan Dapur Ibu
Ilustrasi/foto- lukisanindonesia
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)
Kita, Purnama yang Ditunggui Peramal

kau boleh saja pergi
bawalah pot berisi tananam hias aglonema
perjalananmu bukan bulan separuh
hilang setengah dalam pandangan

perjalananmu bulan purnama
bulat penuh, bersih tiada awan

melangkahlah sejauh bisamu
jika bertemu air siram aglonema di pot itu
jangan biarkan daunnya meranggas, jangan

pergilah, buang ragumu di halaman belakang!
di bawa pohon sawo penyimpan ari-arimu

kisah ini terus bergerak
dari satu detak menuju ribuan detak ke depan

aku dan kau purnama yang ditunggui para peramal
sejauh mana langkahmu
sejarak apa pergimu
aku angin pada napasmu
air pada darahmu

pergilah, itu tanda kita tak sedang menulis kisah ini
dengan kata yang disingkat-singkat
kita mengukirnya dengan kalimat utuh tanpa titik

melangkah saja ke sini—ke pelukku

Gowa, 24 Februari 2015

KLIK INI:  Yang Berjalan ke Ujung Lorong

 

Daun Kahayya yang Kau Cari di Apparalang

berkejaran kita menuju Apparalang
mencari wajah sendiri di birunya laut
karang-karang berubah kecupan
kecupi kaki kita hingga kucurkan darah

“aku mencari daun dari Kahayya yang hanyut di sungai Balantieng,” katamu
“daun itu pasti berakhir di sini, di laut,” lanjutmu yakin

aku tatapi matamu
kutemukan lompobattang di sana
memelihara burung-burung
tumbuhkan pohon-pohon
jagai cerita leluhur penuh mistik

Kahayya itu pertemuan
Apparalang sempurnakannya
daun-daun dari Kahayya akan sampai ke laut

matamu menyimpan segala risau dan tanda baca
harus kutafsirkan dengan teori-teori dari lampau

sesekali ajaklah aku berendam di matamu
tempat bertemunya sungai Balantieng dan laut
lalu biarkan aku bergerak sendiri
mencari desau angin yang dicuri musim
yang membawa daun-daun ke dalam lipatan gelombang

ada sepasang daun menari di Apparalang
daun dari Kahayya
Dialirkan sungai Balantieng
namaku dan namamu
tertulis di daun itu
yang sedang mencari pantai

Gowa, 5 Maret 2015

KLIK INI:  Hutan dari Jendela Masa Depan

 

Bunga-Bunga Merimbuni Mata

daun- daun di belakang rumah bertumpukan
kubiarkan saja, aku ingin beternak ulat
setelah lapuk akan kujadikan kompos
nantinya untuk menyuburkan tanaman pemberianmu

banyak perihal tumbuh di halaman rumah
berakar, menguncup lalu berbunga
semerbak ke ruang tamu
mencuri segala bau
temukan segala tiada

akar-kara tanaman pemberianmu menjalar pongah
tembusi dinding
kelupaskan cat warna ungu kesukaanmu

daun-daun tumpang tindih
ulat merayapinya
mencari segala perihal
di sudut rumah paling sunyi
di kamar
di laci-laci meja belajar
jalari rak-rak buku

akar-akar tanaman pemberianmu kian kuat
setelah menyerpa kompos dari daun yang lapuk dimakan ulat

‘tak ada kuasa jika alam hendak berkehendak,’ bisikmu manja
aku menoleh, tapi hanya ada bunga-bunga yang merimbuni mataku

Gowa, 27 Juli 2015

KLIK INI:  Kemarau Ingatan

 

Ayah dan Dapur Ibu

kantuk datang berwajah gelombang
menyusup lewat celah pintu kamar
di mana angin leluasa mencuri segala bayangmu
yang kukumpulkan dengan payah
dari sebuah rindu resah

pohon-pohon terus saja alirkan air mata
setelah ditebangi penub sadis
atas nama cinta dan keindahan kota

kantuk tiba tapi tak membawa lelap
gerah mencangkum ke dalam tubuh didihkan darah

aku sedang bayangkan bapakmu yang petani
peluhnya dihargai hitam putih orang-orang kota

aku bayangkan pula ayah yang lupa minum kopi
karena harus menebang pohon demi dapur ibu

Gowa, 23 Juni 2016

KLIK INI:  Pohon Kenangan Ibu