Ancaman Kekeringan di Tengah Hujan Lokal: IPB dan BMKG Soroti Fenomena Kemarau Basah

oleh -74 kali dilihat
Mendebarkan, Indonesia Terancam Kekeringan karena Kemarau Panjang?
Ilustrasi kekeringan/foto-metropekanbaru.com

Klikhijau.com – Alarm siaga kekeringan telah dibunyikan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan status siaga di lima provinsi, sebuah langkah antisipatif yang mendesak.

Di tengah riuhnya kabar tentang perubahan iklim global, Pakar Meteorologi IPB University, Sonni Setiawan, S.Si, M.Si, kembali mengingatkan kita semua akan urgensi kesiapsiagaan menghadapi musim kemarau 2025.

KLIK INI:  Mewaspadai Bahaya Polusi Udara dalam Ruangan

Periode kering ini, meskipun diprediksi memiliki karakter unik, tetap membawa serangkaian risiko serius yang menuntut kewaspadaan penuh dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah.

Musim kemarau di Indonesia, pada hakikatnya, adalah sebuah keniscayaan. Pola dasar musim di tanah air kita sangat dipengaruhi oleh pergerakan angin monsun.

Sonni Setiawan menjelaskan, Di Indonesia, secara umum musim terbagi menjadi musim penghujan yang disebabkan oleh angin monsun Asia, dan musim kemarau yang disebabkan oleh angin monsun Australia. Monsun Australia, angin kering dan relatif dingin yang bertiup dari Benua Kanguru, biasanya membawa periode kering dari Juni hingga Agustus. Namun, tahun 2025 ini menyuguhkan sebuah anomali yang menarik sekaligus menantang: “kemarau basah.”

Kemarau yang Mundur dan ‘Basah’: Sebuah Anomali Iklim

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan prediksinya yang patut menjadi perhatian. Musim kemarau 2025 diproyeksikan akan mundur dari jadwal normalnya, dan durasinya pun diprediksi akan lebih pendek dari biasanya untuk sebagian besar wilayah Indonesia.

Dilansir dari siaran pers BMKG, hingga awal Juni 2025, BMKG mencatat bahwa baru sekitar 19 persen zona musim (ZOM) di Indonesia yang benar-benar telah memasuki musim kemarau. Artinya, kemarau tahun ini tidak datang secara serempak di seluruh penjuru negeri, menciptakan pola yang tidak biasa.

KLIK INI:  Asap Karhutla Dipastikan Tidak Menyusup ke Malaysia

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam keterangan tersebut, menekankan bahwa kita tidak bisa lagi terpaku pada pola iklim lama.

“Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat,” ujarnya.

Pernyataan ini menjadi kunci. Meskipun puncaknya diprediksi akan terjadi pada Juni hingga Agustus di sebagian besar wilayah, dengan kecenderungan datang lebih awal atau sama dengan biasanya, fenomena “kemarau basah” menjadi sorotan utama.

Sonni Setiawan, seperti dijelaskan dalam laman IPB University, menegaskan bahwa, tahun ini adalah ‘kemarau basah’ akibat fenomena sunspot yang dapat meningkatkan curah hujan secara tidak langsung.

Ini berarti, meskipun kita berada di musim kemarau, potensi hujan lokal bahkan intensitas tinggi tetap ada di beberapa wilayah. Monsun Australia memang menjadi pemicu utama kemarau di wilayah selatan ekuator Indonesia, membawa cuaca kering dan suhu malam yang lebih dingin.

Namun, BMKG juga memprakirakan adanya potensi hujan lebat di sejumlah wilayah, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan, pada periode awal Juli ini.

Potensi hujan lebat ini terpantau dari anomali radiasi gelombang panjang (Outgoing Longwave Radiation/OLR) yang menunjukkan nilai negatif, mengindikasikan langit yang lebih banyak tertutup awan. Ini adalah manifestasi dari dinamika iklim yang semakin kompleks.

Misteri Bintik Matahari dan Dampaknya pada Hujan Lokal

Fenomena “sunspot” atau bintik matahari menjadi elemen menarik dalam diskusi kemarau basah ini. Apa sebenarnya bintik matahari itu dan bagaimana ia bisa memengaruhi curah hujan di Bumi?

KLIK INI:  BMKG Waspadai Banjir Beberapa Daerah di Sulsel

Bintik matahari adalah area gelap berukuran besar di permukaan Matahari yang tampak lebih dingin dibandingkan wilayah sekitarnya. Meski “dingin” relatif terhadap Matahari itu sendiri (suhunya masih sekitar 3.500 derajat Celsius), bintik-bintik ini merupakan konsentrasi kuat medan magnet Matahari yang menghambat aliran panas dari inti Matahari ke permukaan.

Area sunspot seringkali menjadi titik awal munculnya gangguan besar seperti solar flare (ledakan Matahari) dan coronal mass ejection (CME), yaitu lontaran plasma panas dan partikel energi tinggi ke ruang angkasa.

Ketika aktivitas sunspot meningkat, Matahari memancarkan lebih banyak partikel energi tinggi, termasuk sinar kosmik. Partikel-partikel ini, saat mencapai atmosfer Bumi, dapat mempercepat proses kondensasi.

Mereka bertindak sebagai inti kondensasi, di mana uap air dapat menempel dan membentuk tetesan awan dengan lebih efisien, sehingga meningkatkan pembentukan awan dan potensi hujan deras.

Selain itu, Sonni Setiawan juga menyebutkan bahwa sunspot dapat memperbesar gradien potensial listrik dalam awan, yang berkorelasi dengan peningkatan frekuensi hujan disertai petir. Inilah salah satu faktor yang membuat curah hujan meningkat, bahkan di musim kemarau.

Penting untuk dipahami bahwa jumlah dan intensitas sunspot ini tidak statis. Mereka berubah secara berkala mengikuti siklus Matahari yang berlangsung sekitar 11 tahun. Saat jumlah sunspot meningkat, kita berada pada fase “solar maximum,” di mana aktivitas Matahari secara keseluruhan cenderung meningkat.

Siklus Matahari ke-25, yang dimulai pada tahun 2019, sedang aktif pada tahun 2025 ini, dengan puncaknya diperkirakan terjadi sejak tahun 2024. Ini menjelaskan mengapa para ahli mengaitkan kondisi “kemarau basah” dengan aktivitas matahari yang sedang tinggi.

Namun, BMKG juga memberikan nuansa pada keterkaitan ini. Anomali curah hujan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, meskipun bertepatan dengan puncak siklus sunspot, cenderung terjadi pada skala ruang yang kecil dan tidak merata di seluruh Indonesia.

KLIK INI:  Terkini, Intensitas Hujan Makin Tinggi, Makassar Terkepung Banjir

Menurut analisis BMKG, ini menunjukkan bahwa efek sunspot mungkin lebih memicu hujan pada skala lokal, sementara fenomena iklim global lainnya seperti El Nino, La Nina, dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang saat ini cenderung netral, memiliki pengaruh yang lebih luas pada pola iklim musiman secara umum. Artinya, meskipun sunspot berkontribusi pada hujan lokal, sifat dasar musim kemarau sebagai periode kering secara fundamental tidak berubah.

Bahaya Terselubung Musim Kemarau: Kekeringan dan Dampaknya

Meskipun “kemarau basah” membawa potensi hujan lokal, Sonni Setiawan dan data dari BMKG tetap menekankan bahwa dampak khas musim kemarau harus tetap diwaspadai. Status siaga kekeringan yang ditetapkan BNPB bukanlah tanpa alasan.

“Fenomena sunspot memang memberi kemungkinan hujan, tapi sifatnya tidak merata dan tidak menjamin wilayah-wilayah terdampak akan terbebas dari kekeringan,” jelasnya.

Berdasarkan prediksi BMKG, beberapa daerah, khususnya di Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, diprediksi tetap akan mengalami kekeringan saat puncak musim kemarau, terutama pada bulan Agustus. Kekeringan ini dapat memicu serangkaian masalah serius:

Peningkatan Suhu dan Penurunan Kelembapan Udara: Kurangnya evaporasi air dari permukaan tanah dan tanaman menyebabkan udara menjadi lebih panas dan kering. Kondisi ini dapat menyebabkan tubuh cepat lelah, dehidrasi, hingga memicu heatstroke, terutama di wilayah padat penduduk.

Ketersediaan Air Bersih Terbatas: Curah hujan yang minim akan berdampak langsung pada pasokan air untuk kebutuhan harian, pertanian, dan pembangkit listrik tenaga air. Pengelolaan air yang bijak menjadi sangat krusial agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi.

Gagal Panen dan Gangguan Pertanian: Dengan kemarau yang datang tidak serempak dan sebagian wilayah lebih kering dari biasanya, potensi penurunan hasil panen menjadi ancaman nyata.

Para petani disarankan untuk menyesuaikan jadwal tanam dan memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan. Di sisi lain, bagi wilayah yang mengalami “kemarau basah,” ini bisa menjadi peluang untuk memperluas lahan tanam dan meningkatkan produksi, namun harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap potensi hama akibat kelembapan tinggi.

Ancaman Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla): Wilayah yang mengalami musim kemarau normal hingga lebih kering sangat rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Kesadaran dan kesiapsiagaan ekstra sangat dibutuhkan, termasuk upaya pembasahan lahan gambut dan pengisian embung sejak dini.

Penurunan Kualitas Udara: Musim kemarau seringkali disertai dengan peningkatan partikel debu dan polutan di udara. Kondisi udara di wilayah perkotaan maupun daerah rawan kebakaran bisa memburuk akibat debu dan asap, yang berisiko memicu gangguan pernapasan akut (ISPA) dan masalah kesehatan masyarakat lainnya.

Mitigasi dan Adaptasi: Kunci Menghadapi Iklim yang Berubah

Menghadapi musim kemarau 2025 yang penuh anomali ini, diperlukan langkah mitigasi dan adaptasi yang komprehensif. Sonni Setiawan merekomendasikan beberapa strategi penting:

Penggunaan Transportasi Umum: Untuk mengurangi polusi udara, terutama di daerah perkotaan, masyarakat diimbau untuk lebih sering menggunakan transportasi umum. Ini tidak hanya mengurangi emisi gas buang, tetapi juga membantu menjaga kualitas udara yang lebih baik.

Konservasi Tanah dan Air: Upaya konservasi menjadi sangat vital. Menjaga tutupan lahan, membuat resapan air, dan mengelola sumber daya air secara efisien adalah langkah-langkah yang harus diprioritaskan. Mengisi embung atau tandon air sejak dini di wilayah-wilayah rawan kekeringan dapat menjadi penyangga ketersediaan air.

Penggunaan Tanaman Tahan Kekeringan: Sektor pertanian harus beradaptasi. Pemilihan varietas tanaman yang lebih toleran terhadap kondisi kering atau siklus tanam yang disesuaikan dengan pola hujan yang tidak menentu akan sangat membantu menjaga produktivitas.

Edukasi dan Informasi Dini: Masyarakat perlu terus diedukasi mengenai kondisi cuaca dan iklim terkini dari BMKG. Informasi dini mengenai potensi kekeringan, hujan lebat, atau karhutla harus disebarluaskan secara efektif agar masyarakat dapat mengambil tindakan pencegahan yang tepat.

Kesiapsiagaan Sektor Kesehatan: Dengan potensi peningkatan ISPA dan masalah kesehatan lainnya akibat penurunan kualitas udara dan suhu ekstrem, fasilitas kesehatan harus siap sedia. Kampanye kesehatan tentang pentingnya hidrasi, penggunaan masker, dan menjaga kebersihan diri perlu digencarkan.

Fenomena seperti sunspot dengan siklus 11 tahunannya, seperti yang juga diulas oleh para ahli meteorologi, mengingatkan kita bahwa pola cuaca seperti “kemarau basah” ini bisa berulang di masa depan.

Ini bukan sekadar anomali sesaat, melainkan bagian dari dinamika iklim yang terus berubah. Oleh karena itu, kesiapsiagaan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan.

KLIK INI:  Literasi Pangan Dapat Berdampak Positif Terhadap Kualitas Pola Makan

Masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama dalam menghadapi tantangan ini. Data dan prediksi dari BMKG harus menjadi panduan utama dalam setiap kebijakan dan tindakan. Dengan pemahaman yang baik tentang Monsun Australia dan fenomena bintik matahari, serta kesadaran akan risiko kekeringan dan dampaknya, kita bisa berharap untuk melewati musim kemarau 2025 dengan risiko seminimal mungkin. Status siaga kekeringan BNPB adalah pengingat keras: kewaspadaan adalah kunci, dan adaptasi adalah jalan menuju ketahanan di tengah ketidakpastian iklim.