Anak SMA, Imajinasi dan Sajak-Sajak yang Menghujam ke Bumi

oleh -538 kali dilihat
Anak SMA, Imajinasi dan Sajak-Sajak yang Menghujam ke Bumi

Klikhijau.com – Sepanjang Sabtu (4 April 2019) hujan turun tipis dan awet. Di dalam gedung Rachmat Witoelar kantor P3E Suma, para siswa duduk manis mendengar sajak-sajak dibacakan peserta lomba secara bergantian. Hujan baru terasa bisingnya saat lomba usai, persis jelang aroma senja berakhir.

Semua puisi yang dibaca adalah tentang bumi dan lingkungan. Peserta lomba tampil ekspresif, mereka menjiwai narasi puitik yang menggelitik dan menggugah. Mereka meneriakkan gelisah tentang bumi yang mencemaskan.

Tentang hutan yang menggundul dan banjir bandang. Tentang mata air dan air mata. Pesannya sederhana, mengajak kita (terutama anak-anak muda) agar melakukan sesuatu untuk bumi, mewariskan mata air pada generasi.

Ini tidak sekadar lomba, tapi juga panggung pencerahan. Para peserta lomba yang juga siswa SMA sederajat se Sulawesi Selatan itu seolah terbangun dengan kesadaran barunya, betapa bumi dihinggapi beban besar.

Lingkungan kita mengalami krisis dan degradasi. Ulah siapa? Ulah kita semua, manusia yang mengambil dan mengeruk sumber daya tanpa menimbang daya dukung lingkungan. Manusia yang memperlakukan bumi serampangan tak bertanggungjawab.

KLIK INI:  Meriah, Lomba Baca Puisi Tema Lingkungan Akan Diagendakan Setiap Tahun

Maka, sajak-sajak yang dibacakan bukan narasi biasa. Peserta memang diberi kebebasan memilih puisi (karya sendiri atau orang lain) yang dianggap temannya tentang lingkungan. Pilihan menafsirkan sebuah puisi bertema lingkungan adalah satu jembatan agar para siswa terbiasa mengeksplore teks.

Para siswa menemukan kata dan makna pada sebuah sajak. Mereka menjiwai sajak itu sebagai aspirasi, ekspresi dan orasi tentang bumi. Maka, sajak-sajak yang dibaca seolah menghujam ke bumi. Ke dalam jiwa yang mendengarnya, pada batin yang membacanya. Sebab, puisi yang dipilih dan dibacakan itu telah ditafsir maknanya lebih dulu.

Begitulah, sebuah puisi adalah bahasa jiwa yang diperlukan saat manusia lupa diri. Puisi berjelaga pada jiwa yang kering laksana hujan turun di hutan gersang. Pepohonan dan rerumputan tumbuh bertunas dan berkecamba, sebagaimana hati dan kesadaran yang terbangun dari kelupaan sekian lama.

Perjumpaan tiga dimensi

Pada lomba puisi yang digelar persis di momen Hari Bumi (22 April), Hari Puisi (28 April) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) adalah perjumpaan tiga dimensi. Dimensi ekologis, pendidikan dan sastra. Ketiganya bertemu dan saling mengait. Sudah saatnya institusi pendidikan memperkuat isu-isu ekologis agar generasi muda punya pemahaman dini soal pentingnya menaruh cinta dan kepedulian pada bumi.

KLIK INI:  Dari Lomba Baca Puisi, Dewi Ingin Berjuang Menjaga Lingkungan

Di dalamnya, sastra bisa digerakkan sebagai sebuah senjata. Ini menarik, sebab dunia mengalami perubahan demikian kencang. Teori-teori melampaui realitas. Institusi pendidikan bahkan kadang lambat mengejar. Banyak paradoks antara pengetahuan dan realitas akibat perubahan yang cepat.

Anak-anak yang belajar agama dan matematika akan dikejutkan dengan realitas begitu melewati gerbang sekolahnya–mereka berjumpa realitas yang aneh, orang buang sampah sembarangan, eksplotasi dan lainnya. Sesuatu yang berlawanan dengan pengetahuan dan nilai agama yang diajarkan.

Perubahan juga mengagetkan nalar matematis kita. Banyak pekerjaan dan profesi yang terancam hilang akibat kecerdasan buatan.

Menurut catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2016, ada 242,2 juta buruh (56 persen) di lima negara Asean, termasuk Indonesia akan disingkirkan mesin. Bahkan, profesi wartawan pun terancam.

Articoolo, sebuah perusahaan rintisan asal Israel mampu membuat berita melalui algoritma komputer. Mesin itu bisa menulis dengan tema menarik dengan kemampuan menghasilkan 100 artikel berbeda yang enak dibaca.

Apa yang bisa jadi senjata? Imajinasi. Di dalamnya sastra ada. Oleh sebab itu, anak-anak muda harus disentuh karya sastra agar daya imajinatifnya bertumbuh. Imajinasi, sekali lagi adalah tentang kreativitas dan kesadaran. Pada titik inilah kecintaan ekologis itu dipupuk melalui sastra.

Sampai jumpa tahun depan, di perlombaan puisi yang lebih meriah lagi!

KLIK INI:  Pembagian Tumbler Warnai Lomba Baca Puisi dan Pidato Bahasa Inggris di Kantor P3E Suma