Air yang Kebingungan Mencari Jalan di Makassar

oleh -146 kali dilihat
Genangan Air di Jalan A.P Pettarani Makassar Pertengahan Desember 2024. (Foto: Ist)

Klikhijau.com – Metafora “Air yang Kebingungan Mencari Jalan” satu kalimat yang menangkap konflik fundamental antara hukum alam dan tata ruang kota yang perlu perhatian dalam ambisi pembangunan.

November di Makassar intensitas hujan mulai menyapa lengkap dengan eksistensi genangan di jalanan. Air hujan, yang secara alami memiliki tugas ganda untuk mengalir dan meresap, kini kehilangan semua petunjuk jalannya (jalur) dan tujuan (tempat serapan) akibat urbanisasi yang agresif.

Kebingungan ini bukanlah sifat bawaan air, melainkan manifestasi dari keengganan kota—khususnya Makassar untuk mempertahankan atau menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada dan fungsi resapan alaminya, sambil keakraban kita dengan sistem drainase tua dan tersumbat.

Ketika setiap inci tanah berubah menjadi beton, air dipaksa untuk mencari jalur alternatif, dan dalam kondisi kota yang padat, satu-satunya jalan keluar adalah meluap ke permukaan, menjadikan banjir sebagai ungkapan fisik dari keputusasaan hidrologis ini.

Potret rumah yang seisinya tergenang setiap tahunnya menjadi deretan angka dari jumlah masyarakat terdampak hingga perkiraan kerugian tak jarang pada angka rupiah yang fantastis, dari jadi sasaran banjir menjadi sasaran untuk diberi bantuan, seolah menjadi episod berulang.

Fasilitas layanan tak luput dari “genangan” sebagaimana situasi akhir Desember 2024 di RS Faisal yang bikin panik bukan kepalang, pasien yang terbaring mesti segera dievakuasi.

Mobilitas yang terjeda karena jalur terendam tak mampu ditrabas oleh kendaraan, menjadikannya pemicu kemacetan berkepenjangan nan lama.

KLIK INI:  Begini Saran Kemenkes RI untuk Menangkal Mikroplastik dalam Air Hujan!

Makassar, sebagai kota metropolitan yang berkembang pesat di Indonesia bagian timur, menjadi langganan kasus utama dalam kebingungan air ini. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kota ini menunjukkan transformasi fisik yang masif, namun di balik kemajuan tersebut, tersimpan PR besar terkait tata kelola air dan ruang.

Kebingungan di Saluran Kota

Air hujan menjadi bingung pertama-tama karena sistem saluran air (drainase) yang sering digerogoti sampah apalagi pada drainase yang sudah berusia, tak lagi mampu menampung debit air yang jauh lebih besar. Makassar mengalami perluasan area terbangun. Saluran-saluran yang dirancang puluhan tahun lalu kini harus menampung limpasan air dari wilayah yang dulunya berupa kebun atau sawah, tetapi kini telah menjadi perumahan padat.

Sampah yang terbuang ke drainase. (Foto: Klikhijau)

Parahnya, kebingungan ini diperburuk oleh kesadaran publik. Sampah plastik dan puing-puing dibuang sembarangan ke selokan. Tumpukan sampah tersebut ibarat simpul yang mencekik saluran air, sehingga saat hujan datang, air terpaksa meluap mencari jalannya sendiri, yaitu ke jalan-jalan dan permukiman warga.

Ruang Serapan yang Hilang Akibat Pembangunan

Perubahan paling drastis dalam 10 tahun terakhir di Makassar adalah laju pembangunan yang tak terbendung. Kawasan yang dulunya berfungsi sebagai tanah resapan alam—seperti rawa, tanah kosong, atau pinggiran kota—kini berubah menjadi pusat bisnis, mal, atau klaster perumahan mewah.

Kebijakan mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) seolah bukan prioritas. RTH, seperti paru-paru kota, memiliki fungsi vital sebagai area serapan air. Ketika target RTH tidak tercapai dan setiap jengkal tanah dianggap sebagai potensi ekonomi, kota secara perlahan kehilangan kemampuan untuk “minum” air hujan.

KLIK INI:  Tekan Polusi Udara, Menteri Siti Resmikan Dua Fasilitas RTH di Indramayu

Akibatnya, air yang seharusnya meresap ke dalam tanah dipaksa lari ke permukaan, menambah volume yang harus ditanggung oleh drainase yang sudah kolaps. Jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, lahan yang dikorbankan untuk pembangunan kini jauh lebih banyak dan agresif, membuat banjir bukan lagi kejadian musiman, melainkan risiko harian di musim penghujan.

Kesadaran dan Tata Kelola

Pada dasarnya, banjir bukan hanya masalah teknis (drainase) atau masalah tata ruang (RTH), tetapi juga masalah kesadaran dan tata kelola.

Dahulu, 10 tahun yang lalu, banjir di Makassar mungkin terasa lebih terlokalisasi dan insidental. Namun, saat ini, banjir terjadi lebih sering dan merata, bahkan di wilayah yang dulunya dianggap aman. Perbedaan ini menunjukkan adanya akumulasi kegagalan dalam perencanaan dan tata kelola kota.

Di sisi kebijakan, pemerintah kota dihadapkan pada dilema antara menarik investasi melalui pembangunan dan menjaga ekologi kota. Seringkali, izin pembangunan diberikan tanpa pertimbangan ketat terhadap dampak hidrologis.

Sementara itu, kesadaran publik untuk menjaga kebersihan dan lingkungan, meskipun ada peningkatan kampanye, belum sepenuhnya merata. Kita masih seringkali luput bahwa membuang satu kantong sampah ke selokan adalah kontribusi nyata terhadap “kebingungan” air yang akan menggenangi jalanan di pemukiman hingga ke jalan akses utama.

Fenomena “Air yang Kebingungan” di Makassar adalah cerminan dari ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan dan kearifan lingkungan. Dalam sepuluh tahun terakhir, kota ini telah membiarkan permukaan tanahnya mengeras dan saluran airnya tersumbat.

Untuk mengatasi kebingungan ini, diperlukan pendekatan holistik, perbaikan masif dan terintegrasi pada sistem drainase, penegasan kembali fungsi dan penambahan RTH sebagai area serapan wajib, serta peningkatan kesadaran publik yang didukung oleh penegakan hukum yang tegas terhadap perusak lingkungan perkotaan.

Makassar harus memberi ruang bagi air untuk mengalir dan meresap kembali, agar kota ini dapat tumbuh maju tanpa harus terus-menerus tergenang oleh air yang kehilangan jalannya.