Klikhijau.com – Sang Presiden Malioboro itu lahir Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dua tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tanggal 10 Agustus 1943.
Ia bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, namun lebih dikenal dengan nama Umbu Landu Paranggi.
Salah satu gelar yang melekat pada dirinya adalah Presiden Malioboro. Gelar atau itu didapatkannya dari aktivitasnya sebagai pengasuh Persada Studi Klub (PSK) dan berkesenian, khususnya dalam dunia sastra.
Sang Presiden Malioboro, dalam dunia sastra, khususnya puisi telah melahirkan banyak puisi. puisi-puisi itu masih bisa dinikmati hingga sekarang.
Di antara banyak puisinya, tidak sedikit yang bernapas alam. Berikut 6 di antaranya:
Ni Reneng
sebatang pohon nyiur
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
selembar demi selembar daun sirih
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana
jika kematian kebahagiaan kayangan
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba
Percakapan Selat
Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam terbantun di buritan
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
Laut bersuara di sisi, makin berbenturan dalam kenangan
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
namun membujuk jua langkah, pantai, mega, lalu burung-burung
Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
saat langit luputkan cuaca dan laut siap pasang
saat pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru
Aide Memoire
bukalah jendela, di luar angin
menyiapkan pelaminan kemarau
sebelum burung-burung dan daunan
luput dari nyalang pandang dukaku
catatan-catatan mengubur segala kecewa
upacara kecil hari-hari kelampauanku
bukalah kerudung jiwa di sini
gemakan kenangan pengembaraan sunyi
jauh atau dekat, dari ruang ini
sebelum sayap-sayap derita dan kerja
pergi berlaga mendarahi bumi
dan dengan gemas menyerbu kaki langit itu
di mana mengkristal rindu dendamku abadi
Sajak Dalam Angin
Sebelum sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
Dari Pura Tanah Lot
inilah bunga angin dan tirta air kelapa muda
para peladang yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka muka langit tinggal serta dalamku
bercocok tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau sepanjang pematang sampai ke batang air
duduklah bersila di atas tumpukan
batu batu karang ini lakon lakon
rumput dan sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap air memercik pedihku
beribu para aku sebrang sana datang
mengabadikanmu pasang naik pasang surut
dan kini giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
ke gunung gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh mengairi kasihku
Sabana
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala