4 Potensi Risiko Lingkungan di Tahun 2021, dari Perubahan Iklim hingga Tekanan Fiskal

oleh -349 kali dilihat
Memahami Krisis Iklim dan Penyebabnya, Ayo Ambil Peran untuk Bumi!
Ilustrasi perubahan iklim - Foto/Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Mengawali tahun 2021, para ahli lingkungan dari Asosiasi ahli lingkungan Indonesian Environmental Scientist Association (IESA) memaparkan empat potensi risiko lingkungan.

Dikutip Kontan (3/1/2021), Ketua umum IESA, Yuki M.A Wardhana mengatakan, ada empat hal terkait potensi risiko lingkungan pada tahun 2021 yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan sebagai berikut:

Pertama, permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim, kebakaran hutan dan lahan, banjir, dan longsor diprediksi masih akan terus berlangsung. Pandemi Covid-19 disinyalir berdampak pada tren PHK yang dapat memicu adanya tindakan pembukaan lahan pada areal hutan untuk pertanian demi memenuhi kebutuhan hidup.

Kedua,  Undang-Undang Cipta Kerja dapat mengubah pola tata kelola yang ada saat ini.  Penyusunan peraturan teknis harus melibatkan pemangku kepentingan tata kelola lingkungan dan kehutanan

Ketiga, perubahan tatanan perilaku selama masa pandemi Covid-19 telah membawa dampak langsung pada pengelolaan sampah. Sebagai contoh, pemakaian masker untuk mitigasi mitigasi risiko penularan virus Covid-19 akan berdampak pula pada tren kenaikan sampah masker.

Keempat, tekanan terhadap kapasitas fiskal yang terjadi pada tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat berpotensi mempengaruhi ketersediaan anggaran pemerintah untuk pengelolaan lingkungan, seperti pengelolaan dan penyediaan fasilitas sampah serta limbah, pencegahan banjir, perawatan ruang terbuka hijau dan pengelolaan lingkungan lainnya.

KLIK INI:  Gurita Bom Ikan di Laut Maginti

Mengantisipasi 4 risiko tersebut, IESA melihat perlunya Pemerintah daerah dan pusat melakukan terobosan dalam pembiayaan lingkungan atau pembiayaan alternatif. Seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), pemanfaatan donor dan alternatif financing lain seperti program SDG Indonesia One.

Menurut Yuki, para pemangku kepentingan harus bersatu padu dan bekerja sama. Kolaborasi dan sinergisitas harus didorong untuk mengatasi tantangan besar  di tahun 2021.

Analisa dan antisipasi risiko

Merespons hal ini, Guru Besar dari Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Profesor Ngakan Putu Oka, mengatakan, beberapa isu yang dijabarkan IESA sesungguhnya telah dirasakan dampaknya sejak lama dan sangat mungkin semakin krusial di tahun 2021.

Pertama, kata Profesor Oka, perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global merupakan bencana lingkungan yang sudah terjadi dan sedang kita alami.

KLIK INI:  Matikan Lampu Sebelum Tidur Supaya Burung Juga Bisa Tidur

“Tindakan mitigasi mungkin tidak akan memberikan dampak dalam waktu singkat. Upaya menurunkan emisi gas rumah kaca di atmosfir mungkin dapat dilakukan melalui inovasi teknologi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik, PLTB, pengetatan kebijakan lingkungan, dan lain sebagainya,” kata Profesor Oka yang dikonfirmasi pada Selasa (5/01/2021).

Sayangnya, kata Profesor Oka, kebijakan pemerintah kita justru mengharapkan sektor kehutanan untuk menghasilkan pangan, yang artinya mengganti pohon dengan komoditas pertanian.

“Menurut hemat saya kebijakan ini sangat gegabah dan tidak didasari dengan dasar pemikiran ekologi-ekonomi yang komprehensif. Sehingga justru berpotensi sebaliknya,” jelasnya.

Merespons mengenai Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), Profesor Oka menilai, peristiwa karhutla pada periode 1982- 1998 maupun peristiwa karhutla pada saat ini, kuncinya ada pada manusia.

“Gambut memang merupakan bahan organik yang dapat terbakar, tetapi sebetulnya gambut itu mustahil terbakar sekali pun selama elnino. Karena lahan gambut itu selalu becek, kecuali mungkin gambut di daerah alpin dan sub alpin. Jadi kalau mau mengendalikan karhulta maka yang dikendalikan itu harus manusia mulai dari petani di dalam kawasan hutan sampai ke para pembuat kebijakan di pemerintahan,” jelasnya.

KLIK INI:  Krisis Iklim Makin Memburuk, Pendanaan Bank untuk Batu Bara Harus Dihentikan

Sementara mengenai banjir yang kerap terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia setiap tahun, Profesor Oka, menyebut penyebap banjir memang sangat kompleks.

Menurutnya, curah hujan memang merupakan salah satu pemicu banjir, tetapi kalau tutupan lahan di daerah tangkapan, curah hujannya baik maka seharusnya banjir dapat dikendalikan.

“Saya sejak tahun 1983 sampai saat ini, hidup saya jatuh bangun di dalam hutan. Betatapa pun deras dan lebatnya itu hujan, saya belum pernah melihat ada aliran permukaan di lantai hutan, kecuali di lantai hutan bekas kebakaran. Yang saya maksud ini tidak termasuk hutan dataran rendah luapan banjir (floodplain forest) yang biasanya ada di sekitar rawa-rawa pinggir sungai,” katanya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, jika ada banjir bandang yang mendadak boleh jadi karena terjadi pembakaran lahan secara besar-besaran di bagian hulu.

Mengenai UU Cipta Kerja, Profesor Okan tidak ingin berkomentar banyak. “Mengenai UU Cipta Kerja saya cenderung menunggu saja dulu bagaimana implementasinya. Kalau ternyata lebih buruk dari sekarang, ya kita bicara. Tetapi kalau kurang lebih sama saja atau bahkan lebih baik ya saya akan berdiri angkat topi,” jelasnya.

KLIK INI:  Polusi Udara di Sejumlah Kota Indonesia Memburuk Sepanjang Tahun 2021

Profesor Oka juga menyoroti mengenai beban sampah di masa pandemi yang memang mencemaskan. Sistem delivery sevice terutama makanan diakui telah membuat pemakaian kemasan plastik meningkat secara signifikan.

“Yah inilah sifat asli manusia di seluruh dunia. Mereka selalu berpikir, kalau bisa merasakan mudah dan nyaman saat ini mengapa harus berpikir tentang susah di masa depan. Plastik saat ini manjadi permasalahan lingkungan global. Orang-orang sedang memikirkan tentang sampah plastik yang meningkat, namun faktanya penggunaannya juga semakin massif. Inilah bukti bahwa manusia itu sering tidak sejalan antara pikiran dan perbuatan,” katanya.

“Satu satunya jalan keluar untuk mengatasi masalah plastik adalah pengembangan teknologi

pengolahan plastik menjadi bahan bakar ramah lingkungan. Kita perlu mendorong para ahli kimia untuk berinovasi tentang hal ini,” katanya.

KLIK INI:  4 Fakta Unik Pohon Raksasa “Kalumpang Lompoa” di Bantaeng
Perihal tekanan fiskal

Mengenai tekanan terhadap kapasitas fiskal yang terjadi pada tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat, Profesor Oka, menegaskan betapa hal ini memang jadi satu risiko di tahun 2021.

“Iya ini benar akan ada tekanan fiskal, karena penerimaan pemerintah baik pusat maupun daerah akan sangat menurun di era pandemi ini. Pajak industri manufaktur dan PPn tentu akan sangat berkurang dengan menurunnya daya beli masyarakat,” katanya.

Faktanya, selama pandemi ini,orang-orang yang cadangan keuangannya berlebih pun lebih memilih berhemat dalam membelanjakan uangnya. Pada sisi lain pemerintah juga harus memberikan berbagai insentif pajak untuk menjaga perusahan jangan sampai bangkrut.

“Idealnya sih untuk menggerakkan roda perekonomian pada masa seperti ini dapat dilakukan dengan meningkatkan daya beli masyarakat dengan memberikan berbagai bantuan seperti BLT kepada masyarakat kurang mampu agar bisa berbelanja, namun ditemukan ada korupsi berkaitan dengan hal ini,” lanjutnya.

Menurut Profesor Oka, ada dilema tersendiri selama pandemi ini tetap ada. Di satu sisi, pemerintah tidak punya kemampuan untuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk menangani permasalahan lingkungan. Pada sisi lain jika masalah lingkungan tidak diperhatikan bukan tidak mungkin masalah pandemi ini akan menjadi lebih sulit ditangani.

“Salah satu jalan keluar untuk tetap menjaga concern para pihak terhadap permasalahan lingkungan walau di era pandemi ini yaitu dengan menjadikan masalah penanganan lingkungan sebagai syarat bagi perusahan untuk bisa mendapatkan insentif perpajakan dari pemerintah. Demikian juga pemberian BLT mungkin dapat dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam menjaga kualitas lingkungan. Misalnya BLT tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan melalui program padat karya di bidang lingkungan,” pungkasnya.

KLIK INI:  Pusat Kajian Rekayasa Sumber Daya Air Unhas Resmi Terbentuk